Jumat, 24 Desember 2010

AGONIS KOLINERGIK

Sistem saraf kita terdiri dari dua kelompok yaitu susunan saraf pusat (SSP) otak dan sumsum tulang belakang, dan susunan saraf perifer. Sistem saraf perifer dibagi menjadi sistem saraf otonom dan somatik. Sistem saraf otonom mengendalikan kontraksi otot jantung dan otot polos, serta sekresi kelenjar. Sistem saraf somatik mempersarafi otot skelet selama pergerakan voluntar dan menghantarkan informasi sensorik, seperti nyeri dan sentuhan.
            Sistem saraf otonom lebih lanjut dibagi menjadi sistem simpatis dan parasimpatis, yang umumnya berlawanan satu sama lain. Sebagai contoh, sistem simpatis umumnya bersifat katabolik, mengeluarkan energi ( sistem ” Fight or Flight ). Sistem ini meningkatkan frekuensi jantung, mendilatasi bronki, dan mengurangi sekresi, sedangkan saraf parasimpatis bersifat anabolik, menyimpan energi, misalnya menurunkan frekuensi jantung, menstimulasi fungsi gastrointestinal. Pada individu yang sedang beristirahat, sistem parasimpatis mendominasi pada sebagian besar organ, mengakibatkan denyut jantung relatif lambat, sekresi adekuat, dan motilitas usus yang sesuai. Tetapi, pada orang yang sedang stres, sistem simpatis mendominasi, mengalihkan energi untuk fungsi-fungsi yang membuat orang fight or flight ( misal peningkatan oksigenasi jaringan dengan bronkodilatasi dan peningkatan curah jantung ).
Obat – obat yang mempengaruhi saraf otonom dibagi dalam dua subgrup sesuai dengan mekanisme kerjanya terhadap tipe neuron yang dipengaruhi. Grup pertama, obat – obat kolinergika bekerja terhadap reseptor yang diaktifkan oleh asetilkolin. Grup kedua obat – obat adrenergik  yang bekerja terhadap reseptor yang dipacu oleh norepinefrin atau epinefrin. Obat kolinergik dan adrenegik bekerja dengan memacu atau menyekat neuron dalam sistem saraf otonom.

Kolinergika atau parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena melepaskan neurohormon asetilkolin (Ach) diujung – ujung neuronnya.
            Obat kolinergika singkatnya disebut kolinergik  juga disebut parasimpatomimetik, berarti obat yang kerja serupa perangsangan saraf parasimpatis. Tetapi karena ada saraf, yang secara anatomis termasuk saraf simpatis, yang transmitornya asetilkolin maka istilah obat kolinergik lebih tepat daripada istilah parasimpatomimetik.

OBAT – OBAT AGONIS KOLINERGIK
Obat-obat otonom adalah obat –obat yang dapat mempengaruhi penerusan impuls dalam SSO dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan, atau penguraian neurotransmitter atau mempengaruhi kerjanya atas reseptor khusus. Akibatnya adalah dipengaruhinya fungsi otot polos dan organ, jantung, dan kelenjar.
Obat kolinergik singkatnya disebut kolinergik  juga disebut parasimpatomimetik, berarti obat yang kerja serupa perangsangan saraf parasimpatis. Tetapi karena ada saraf, yang secara anatomis termasuk saraf simpatis, yang transmitornya asetilkolin maka istilah obat kolinergik lebih tepat daripada istilah parasimpatomimetik.
Obat kolinergik dibagi dalam tiga golongan : (1) Ester kolin ; dalam golongan ini termasuk :asetilkolin, metakolin, karbakol, betanekol (2) Antikolinesterase, termasuk didalamnya : eserin (fisostigmin), prostigmin (neostigmin), diisopropil-fluorofosfat (DFP), dan insektisid golongan organofosfat ; dan (3) Alkaloid tumbuhan, yaitu : muskarin, pilokarpin, dan arekolin.
            Parasimpatomimetik ( kolinergik ), yang merangsang organ-organ yang dilayani saraf parasimpatik dan meniru efek perangsangan dengan asetilkolin, misalnya pilokarpin dan fisostigmin.
PARASIMPATOMIMETIK ( KOLINERGIK )
      Serabut preganglionik yang berakhir pada medula adrenalis , ganglia otonom (simpatis dan parasimpatis) dan serabut pasca ganglionik dari divisi parasimpatis menggunakan asetilkolin sebagai suatu neurotransmiter. Neuron kolinergik mempersarafi otot voluntar dari sistem somatik dan dijumpai pula dalam sistem saraf pusat (SSP). 
Neurotransmisi pada neuron kolinergik
Neurotransmisi dalam neuron kolinergik meliputi 6 tahap, yaitu :
1.    Sintesis asetilkolin : kolin diangkut dari cairan ekstrasel ke dalam sitoplasma neuron kolinergik oleh suatu sistem pembawa yang bersamaan dengan masuknya natrium. Enzim koline asetiltransferase (CAT) mengkatalisis reaksi kolin dengan asetil CoA untuk membentuk asetilkolin dalam sitosol.
2.    Penyimpanan asetilkolin dalam vesikel : asetilkolin dikemas ke dalam vesikel-vesikel melalui suatu proses transpor aktif yang berpasangan dengan keluarnya proton dari sel. Vesikel yang matang tidak saja mengandung asetilkolin tetapi juga adenosin trifosfat dan proteoglikan.
3.    Pelepasan asetilkolin : jika suatu potensial kerja yang dipropagasi oleh kerja kanal bervoltase peka Na tiba pada suatu ujung saraf, maka kanal-kanal bervoltase peka Ca pada membran prasinaptik terbuka, yang menyebabkan peningkatan kadar Ca di dalam sel. Peningkatan kadar Ca ini memacu fusi vesikel-vesikel sinaptik dengan membran sel dan melepas kandungan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps.
4.    Ikatan pada reseptor : asetilkolin yang dilepas dari vesikel sinaptik berdifusi melewati ruangan sinaptik dan mengikat baik reseptor pascasinaptik pada sel sasaran maupun reseptor prasinaptik pada membran neuron yang melepas asetilkolin. Ikatan pada reseptor ini menimbulkan suatu respons biologi dalam sel seperti mulainya suatu impuls saraf pada serabut pasca ganglionik atau aktivasi sejumlah enzim tertentu didalam sel efektor sebagai perantara pada reaksi molekul ” second messenger ”.
5.    Penghancuran asetilkolin : sinyal pada tempat efektor pasca sambungan secepatnya diakhiri. Proses ini terjadi di dalam celah sinaptik dengan enzim asetilkolinesterase memecah asetilkolin menjadi kolin dan asetat.
6.    Daur ulang kolin : kolin mungkin ditangkap kembali melalui suatu sistem ambilan kembali berafinitas tinggi yang berpasangan dengan Na ke dalam neuron, yang kemudian diasetilasi dan disimpan hingga dilepas lagi oleh potensial kerja berikutnya.
Reseptor Kolinergik
            Reseptor kolinergik terdapat dalam semua ganglia, sinaps dan neuron postganglioner sari SP, juga dipelat – pelat ujung motorik (otot lurik) dan di bagian Susunan Saraf Pusat yang disebut sistem ekstrapiramidal. Berdasarkan efeknya terhadap perangsangan, reseptor ini dapat dibagi dalam dua jenis, yakni reseptor muskarin dan reseptor nikotin, yang masing – masing menghasilkan efek berlainan.
A.   Reseptor muskarinik
Muskarin adalah derivat-furan  yang bersifat sangat beracun dan terdapat sebagai alkalloida pada jamur merah Amanita muscaria.
Reseptor ini, selain ikatannya dengan asetilkolin, mengikat pula muskarin, yaitu suatu alkaloid yang dikandung oleh jamur beracun tertentu. Sebaliknya, reseptor muskarinik ini menunjukkan afinitas lemah terhadap nikotin. Dengan menggunakan studi ikatan (binding study) dan penghambat tertentu, maka telah ditemukan beberapa subklas reseptor muskarinik seperti M1, M2, M3, M4, dan M5.
Asetilkolin (ACh) bekerja tidak selektif dan merangsang ketiga tipe reseptor –M, serupa dengan adrenalin dan NA dari sistem simpatis (SS), yang juga merangsang secara tak selektif reseptor –alfa dan –beta adrenergis. Obat – obat yang mengaktifasi reseptor M1, M2, atau M3 secara selektif hingga kini belum ditemukan.
1.    Lokasi reseptor muskarinik : reseptor musfkarinik ini dijumpai dalam ganglia sistem saraf tepi dan organ efektor otonom, seperti jantung, otot polos, otak dan kelenjar eksorin. Secara khusus, walaupun kelima subtipe reseptor muskarinik terdafpat dafldam neuron, namun reseptor M1 ditemukan pula dalam sel parietal lambung, dan reseptor M2 terdapat dalam otot jantung dan otot polos, dan reseptor M3 ditemukan dalam kelenjar eksokrin dan otot polos. [Catatan; obat – oabt yang bekerja muskarinik lebih peka dalam memacu reseptor muskarinik  dalam jaringan tadi, tetapi dalam kadar tinggi mungkin memacu reseptor nikotinik pula].
2.    Mekanisme transduksi sinyal asetilkolin : sejumlah mekfanisme molekular yang berbeda terjadi dengan menimbulkan sinyal yang disebabkan setelah asetilkolin mengikat reseptor muskarinik. Sebagai contoh, bila reseptor M1 atau M2 diaktifkan, maka reseptor ini mengalami perubahan konformfasi dan berinteraksi dengan protein G, yang selanjutnya akan mengaktifkan fosfolipase C. Akibatnya akan terjadi hidrolisis  fosfatidilinositol-(4,5)-bifosfat (PIP2) mejadi diasilgliserol (DAG) dan inositol (1,4,5)-trifosfat (IP3) yang akan menyebabkan peningkatan  kadar Ca intrasel. Kation ini selanjutnya akan berinteraksi untuk memacu atau menghambat enzim-enzim, atau menyebabkan hiparpolarisasi, sekresi atau kontraksi. Sebaliknya, aktivasi subtipe M2 pada otot jantung memacu protein G yang menghambat  adenililsiklase dan mempertinggi konduktan K, sehingga denyut dan kontraksiotot jantung akan menurun.
3.    Agonis dan antagonis muskarinik : Beberapa upaya dikerjakan untuk mengembangkan agonis dan antagonis yang ditujukan terhadap subtipe reseptor spesifik. Sebagai contoh, pirenzepin, obat antikolinergik trisiklik, secara selektif menghambat reseptor muskarinik M1, seperti yang terdapat pada mukosa lambung. Dalam dosis terapi, obat ini tidak menimbulkan banyak efek samping seperti halnya obat yang tidak spesifik terhadap subtipe M1. oleh karena itu, pirenzepin cocok untuk mengobati tukak lambung dan duodenum.
Subtipe dan karakteristik kolinoseptor
Tipe reseptor
Lokasi
Mekanisme
M1
M2

M3
M4

M5
Nm

NN
Saraf
Jantung, saraf, otot polos

Kelenjar, otot polos, endometrium
? SSP

? SSP
Hubungan neuromusukular otot skletal
Badan sel pascaganglionik, dendrit
IP3, aliran DAG
Penghambatan produksi cAMP, aktivasi kanal K.
IP3, aliran DAG
Penghambatan produksi cAMP.
IP3, aliran DAG

Depolarisasi kanal ion N, K

Depolarisasi kanal ion Na, K

B.   Reseptor Nikotin (N)
Reseptor ini selain mengikat asetilkolin, dafpat pula mengenal nikotin, tetapi afinitas lemah terhadap muskarin. Tahap awal nikotin memang memacu reseptor nikotinik, namun setelah itu akan menyekat reseptor itu sendiri. Reseptor nikotinik ini terdapat didalam sistem saraf pusat (SSP), medula adrenalis, ganglia otonom, dan sambungan neuromuskular. Obat – obat yang bekerja nikotinik akan memacu reseptor nikotinik  yang terdapat dadflam jaringan tadi. Reseptor nikotinik pada ganglia otonom berbeda dengan reseptor yang terdapat pada sambungan neuromuskular. Sebagai contoh, reseptor ganglionik secara selektif dihambat oleh heksametonium, sedangkan reseptor pada sambunan neuromuskular secara spesifik dihambat oleh tubokurarin.
Reseptor nikotin terutama terdapat dipelat- pelat ujung myoneural dari otot kerangka dan di ganglia otonom (simpatis dan parasimpatis). Stimulasi reseptor ini oleh kolinergika (neostigmin dan piridostigmin) menimbulkan efek yang menyerupai efek adrenergika, jadi bersifat berlawanan sama sekali. Misalnya vasokontriksi dengan naiknya tensi ringan, penguatan kegiatan jantung, juga stimulasi SSP ringan. Pada dosis rendah, timbul kontraksi otot lurik, sedangkan pada dosis tinggi terjadi depolarisasi dan blokade neuromuskular.
Mekanisme kerjanya berdasarkan stimulasi penerusan impuls di ganglia simpatis dan stimulasi anak ginjal dengan sekresi noradrenalin. Disamping itu juga terjadi stimulasi ganglia kolinergis (terutama di saluran lambung – usus dengan peningkatan peristaltik) dan pelat – pelat ujung motoris otot lurik, dimana terdapat banyak reseptor  nikotin.
Efek nikotin dari ACh juga terdjadi pada perokok, yang disebabkan oleh sejumlah kecil nikotin yang diserap kedalam darah melalui mukosa mulut.
Selektifitas parsiil (sebagian) untuk reseptor –M dan –N terdapat pada kolinergika klasik, seperti pilokarpin, karbachol, dan aseklidin (glauchofrin). Obat – obat ini pada dosis biasa mengaktifasi beberapa tipe reseptor –M tanpa mempengaruhi reseptor nikotin. Sebaliknya, kolinergika lain, seperti zat – zat antikolinesterase (neostigmin, piridostigmin), bekerja tidak selektif.
Kolinergika dapat dibagi menurut cara kerjanya, yaitu zat-zat dengan kerja langsung dan zat-zat dengan kerja tak langsung.
  1. Bekerja langsung : karbachol, pilokarpin, muskarin, dan arekolin (alkaloid dari pinang). Zat-zat ini bekerja langsung terhadap organ-organ ujung dengan kerja utama yang mirip efek muskarin dari ACh. Semuanya adalah zat-zat amonium kwartener yang bersifat hidrofil dan sukar memasuki SSP, kecuali arekolin.
  2. Bekerja tak langsung :  zat-zat antikolinesterase seperti fisostigmin, neostigmin, piridostigmin. Obat-obat ini merintangi penguraian ACh secara reversibel, yakni hanya untuk sementara. Setelah zat-zat tersebut habis diuraikan oleh kolinesterase, ACh akan segera dirombak lagi.
·    Agonis Kolinergik Langsung
- Ester kolin, adalah kolin yang terikat pada derivat asetil dengan sebuah  ikatan ester. Ikatan ester pada asetilkolin dan obat-obatan yang terkait dihidrolisa oleh enzim-enzim yang dikenal sebagai kolinesterase. Golongan obat ini yaitu asetilkolin, metakolin, karbakol, betanekol, dan asam karbamat.
 - Alkaloid Kolinomimetik, berasal dari tumbuhan dengan ekstraksi alkali. Secara kimia berbeda dengan ester kolin dan tidak dimetabolisme oleh kolinesterase.
- Nikotin, adalah salah satu obat yang paling sering digunakan. Nikotin merangsang SSP, melepaskan epinefrin dari kelenjar adrenal, merangsang, dan kemudian memblok reseptor dalam ganglia dan pada hubungan neuromuskular.
·         Penghambat Kolinesterase
Penghambat kolinesterase digolongkan menurut mekanisme kerjanya :
-       Penghambat ester karbamil, obatnya : fisostigmin, demekarium, ambenonium, piridostigmin
-       Edrofonium
-       Penghambat organofosfor, obatnya ; ekotiofat, diisopropilfluorofosfat, paration, malation.
 Penggunaan Klinik
Kolinergik terutama digunakan pada :
-       Glaukoma, obat yang bekerja dengan jalan midriasis seperti pilokarpin, karbakol, dan prostigmin.
-       miastenia gravis, contohnya neostigmin dan piridostigmin
-       atonia, misalnya prostigmin, neostigmin.

Efek samping
Efek samping kolinergika adalah sama dengan efek dari stimulasi SP secara berlebihan, antara lain mual, muntah-muntah, dan diare, juga meningkatnya sekresi ludah, dahak, keringat, dan air mata, bradycardia, bronchokontriksi, serta depresi pernapasan.
Penggolongan Agonis Kolinergik
1. Agonis kolinergik bekerja langsung
 a.  Asetilkolin (ACh)
Asetilkolin adalah suatu senyawa amonium kuartener  yang  tidak mampu menembus membran. Walaupun sebagai neurotransmiter saraf parasimpatis dan kolinergik, namun dalam terapi zat ini kurang penting karena beragam kerjanya dan sangat cepat diinaktifkan oleh asetilkolinesterase. Aktivitasnya berupa muskarinik dan nikotinik. Kerjanya termasuk :
-       Menurunkan denyut jantung dan curah jantung
-       Menurunkan tekanan darah.
-       Kerja lainnya : pada saluran cerna, asetilkolin dapat meningkatkan sekresi saliva, memacu sekresi dan gerakan usus.
Farmakodinamik
Secara umum farmakodinamik dari ACh dibagi dalam dua golongan, yaitu terhadap : (1) kelenjar eksokrin dan otot  polos, yang disebut efek muskarinik ; (2) ganglion (simpatis dan parasimpatis) dan otot rangka yang disebut efek nikotinik, pembagian efek ACh ini didasarkan obat yang dapat menghambatnya, yaitu atropin menghambat khusus efek muskarinik, dan nikotin dalam dosis besar menghambat efek nikotinik asetilkolin terhadap ganglion.  Bila digunakan dosis yang berlebihan maka atropin, nikotin dan kurare masing – masing dapat juga menghambat semua efek muskarinik dan nikotinik ACh. Efek obat pada dosis toksik ini tidak dianggap sebagai efek farmakologik lagi, karena sifat selektifnya hilang.
Kegunaan klinis
Jarang digunakan secara klinis
Sediaan dan posologi
         Asetilkolin klorida/bromida dapat diperoleh sebagai bubuk kering, dan dalam ampul berisi 200 mg.
         Dosis : 10 – 100 mg IV.
         Kontra indikasi      
         Ulkus peptikum, penyakit arteri koroner, hiperteroid (fibrilasi atrium), asma, obstruksi kandung kemih mekanis.
         Efek samping
         Ester kolin dapat mendatangkan serangan iskemia jantung pada penderita angina pektoris, karena tekanan darah yang menurun mengurangi sirkulasi koroner. Penderita hipertiroidisme dapat mengalami fibrasi atrium. Gejala keracunan pada umumnya berupa efek muskarinik dam nikotinik yang berlebihan.
         Indikasi
         Meteorisme (gejala akibat penimbunan gas dalam saluran cerna), atonia kandung kemih dan retensi urin, feokromositoma (digunakan untuk tes provokasi penyakit ini pada waktu tekanan darah penderita sedang rendah).
         Nama Paten :  
         Miochol-E        ( Novartis Biochemie)
         Indikasi : Untuk menimbulkan miosis pada iris setelah pengangkatan lensa  pada op katarak, keratoplasti, indektomi dan op segmen anterior yang lain.
         Dosis :0,5-2 ml ke dalam bilik anterior
         Perhatian : Agar miosis terjadi dengan cepat, maka gangguan anatomik yaitu sinekia anterior atau posterior harus diatasi sebelum pemakaian. Gunakan setelah pengangkatan lensa  pada  katarak. Wanita hamil dan menyusui
         Efek samping : Edema kornea, perkabutan kornea dan dekompensasi kornea, bradikardi, hipotensi, muka merah, sesak napas dan berkeringat.
         Interaksi Obat : Asetilkolin Cl dan karbakol tidak efektif pada pasien yang  diterapi dengan AINS topikal.
b.    Betanekol
Betanekol mempunyai struktur yang berkaitan dengan asetilkolin; asetatnya diganti karbamat dan kolinnya dimetilasi. Oleh karena itu senyawa  tidak dihidrolisis oleh asetilkolin esterase, walaupun sebenarnya dapat dihidrolisis oleh esterase lainnya. Kerja nikotiniknya kecil atau tidak sama sekali , tetapi kerja muskariniknya sangat kuat. Kerja utamanya adalah terhadap otot polos kandung kemih dan saluran cerna. Masa kerjanya berlangsung 1 jam.
*      Kerja : Betanekol memacu langsung reseptor muskarinik, sehingga tonus dan motilitas usus meningkat, dan memacu pula otot detrusor kandung kemih sementara trigonum dan sfingter.
*      Aplikasi terapi : untuk pengobatan urologi, obat ini digunakan untuk memacu kandung kemih yang mengalami alori (atonic bladder), terutama retensi urin pasca persalinan atau pasca bedah non-obstruksi.
*      Efek samping : Betanekol dapat menimbulkan pacuan kolinergik umum. Termasuk dalam pacuan ini adalah berkeringat, salivasi, kenerahan, penurunan tekanan darah, mual, nyeri abdomen, diare, dan bronkospasme.
Kegunaan klinis
Menginduksi pengosongan kandung kemih yang tidak terobstruksi. Meningkatkan motilitas saluran cerna setelah pembedahan.
Sediaan dan posologi
Betanekol klorida tersedia sebagai tablet 5 dan 10 mg atau dalam ampul yang mengandung 5 mg/ml.
Dosis : Dosis oral adalah 10 – 30 mg, sedangkan dosis subkutan 2,5 – 5,0 mg. Tidak boleh diberikan IV atau IM.
Indikasi
Atonia kandung kemih dan retensi urin                              
c.    Karbakol
Karbakol sebagai muskarinik maupun nikotinik. Seperti betaanekol, obat ini adalah suatu ester asam karbamat dan merupakan substrat  yang tidak cocok untuk asetilkolinesterase. Senyawa ini dibiotransformasi oleh esterase lain dengan lambat sekali. Pemberian tunggal senyawa ini baru berakhir efeknya setelah 1 jam.
*      Kerja : Karbakol berefek sangat kuat terhadap sistem kardiovaskular dan sistem pencernaan karena aktivitas pacu ganglion-nya dan mungkin tahap awalnya memacu dan kemudian mendepresi sistem tersebut. Obat ini mampu melepas epinefrin dari medula adrenalis karena kerja nikotiniknya. Penetesan lokal pada mata, dapat meniru efek asetilkolin yang menimbulkan miosis.
*      Penggunaan terapi : Karena potensi tinggi dan masa kerja yang  relatif lama, maka obat ini jarang digunakan untuk maksud terapi, terkecuali pada mata sebagai obat miotikum untuk menyebabkan kontraksi pupil dan turunnya tekanan dalam bola mata.
*      Efek samping : Jika diberikan dalam dosis untuk oftalmologi maka efek sampingnya kecil atau tidak ada sama sekali.
*      Dosis : Pada glaukoma 3 dd 2 gtt dari larutan 1,5-3% (klorida), pada atonia usus/kandung kemih akut oral 1-3 dd 4 mg.
Kegunaan klinis
Perbaikan gejala penyakit Alzheimer, miotikum untuk glaukoma.
Sediaan dan posologi
Karbakol klorida sebagai tablet 2 mg atau ampul 0,25 mg/ml; pemberian oral cukup efektif dengan dosis 3 kali 0,2 – 0,8 mg.
Dosis subkutan adalah 0,2 – 0,4 mg. Preparat ini tidak boleh diberikan IV. Juga tersedia sebagai obat tetes mata untuk miotikum.
Indikasi
 Digunakan sebagai miotikum pada glaukoma dan pada atonia organ dalam.
d.    Pilokarpin
Alkaloid  pilodkarpin adalah suatu amin tersier dan stabil atau hidrolisis oleh asetilkolinesterase. Dibandingkan dengan asetilkolin dan turunanya senyawa ini ternyata sangat lemah. Pilokarpin menunjukkan aktivitas muskarinik dan terutama digunakan untuk oftalmolgi
Kerja : Penggunaan topikal pada kornea dapat menimbulkan miosis dengan cepat  dan kontraksi otot siliaris. Pada mata akan terjadi suatu spasme akomodasi dan penglihatanakan terpaku pada jarak tertentu, sehingga sulit untuk memfokus suatu objek. 
     [Catatan : efek yang berlawanan dengan atropin, suatu penyekat muskarinik
      pada mata].
       Pilokarpin adalah salah satu pemacu sekresi kelenjar keringat, air mata
      dan saliva, tetapi
     obat ini tidak digunakan untuk maksud demikian.
*      Penggunaan terapi pada glaukoma : Pilokarpin adalah obat terpilih dalam keadaan gawat yang dapat menurunkan tekanan bola mata baika glaukoma bersudut sempit (disebut juga bersudut tertutup) maupun bersudut lebar (bersudut terbuka). Obat ini sangat efektif untuk membuka anyaman trabekular disekitar kanal Schlemm, sehingga tekanan dalam bola mata turun dengan segera akibat cairan humor keluar dengan lancar. Kerjanya ini dapat berlangsung dalam sehari dan dapat diulangi kembali. Obat penyekat kolinesterase seperti isoflurotat dan ekotiofat, bekerja lebih lama lagi. [Catatan : obat penghambat karbonik anhidrase, seperti azetazolamid, epinefrin, dan penyekat beta adrenergik, timolol, efektif pula untuk pengobatan glaukoma  kronik, tetapi tidak dapat digunakan dalam keadaan gawat menurunkan bola mata].
*      Efek samping : Pilokarpin dapat mencapai otak dan menimbulkan gangguan SSP. Obat ini merangsang keringat dan salivasi yang berlebihan.
      Kegunaan klinis
      Uji keringat fibrosis kistik, glaukoma (miotikum).
      Indikasi
      Sebagai miotikum pada glaukoma
      Dosis : pada glaukoma 2 – 4 dd 1 – 2 tetes larutan 1 -2 % (klorida, nitrat).
      Nama paten :
·         Cendo Carpine                   ( Cendo )
      Tiap 5 ml tetes mata : pilokarpine –HCl 1%, 2%, 4%
            Indikasi : Anti glaukoma simplek kronis
            Kemasan : Botol 5ml 1% ; 2%; 3%; 4%; 6% 15 ml 1%; 2%; 3%; 4%;  6%
·         Epicarpine                            ( Cendo )
Tiap ml tetes mata ; Pilokarpin -HCl 20 mg, epinefrin 10 mg
Indikasi : Glaukoma terbuka
Kontra Indikasi : Glaukoma tertutup.
Kemasan : Botol 5 ml, 15 ml
2. Antikolinesterase (reversible)
Fisostigmin
Fisostigmin adalah suatu alkaloid (senyawa nitrogen yang terdapat pada tumbuhan) yang merupakan amin tersier. Obat ini merupakan substrat untuk kolinesterase, dan membentuk senyawa perantara enzim-substrat yang relatif stabil yang berfungsi meng-inaktifkan secara reversibel-substrat yang relatif stabil yang berfungsi meng-inaktifkan secara reversibel asetilkolin asetilkolinesterase. Akibatnya terjadi potensiasi aktivitasi kolinergik diseluruh tubuh.
*      Kerja : fisostigmin bekerja cukup luas karena mampu memacu tidak saja tempat muskarinik dan nikotinik sambungan neuromuskular. Lama kerja sekitar 2-4 jam. Obat ini dapat mencapai dan memacu SSP.
*      Penggunaan terapi : obat ini meningkatkan gerakan usus dan kandung kemih, sehingga berkhasiat untuk mengobati kelumpuhan kedua organ tersebut. Bila diteteskan pada mata, maka akan timbul miosis dan kekakuan akomodasi dan penurunan tekanan bola mata. Obat ini digunakan untuk mengobati glaukoma, tetapi pilokarpin sebenarnya lebih efektif. Fisostigmin digunakan pula untuk mengobati kerja antikolinergik yang berlebihan seperti atropin dalam dosis berlebihan, fenotiazin, dan obat antidepresi trisiklik.

*      Efek samping : Efek fisostigmin terhadap SSP mungkin menimbulkan kejang bila diberikan dalam dosis besar. Dapat terjadi pula bradikardia. Hambatan terhadap asetilkolinesterase  pada sambungan neuromuskular justru menimbulkan penumpukan asetilkolin dan pasti terjadi kelumpuhan otot rangka. Namun demikian efek tadi jarang ditemukan bila obat digunakan dalam dosis terapetik
Kegunaan klinis :Glaukoma.     
Farmakokinetik : Mudah diserap melalui saluran cerna. Dihidrolisa oleh kolinesterase.
Nama paten : Eserine                 ( Cendo )
Tetes mata : Fisostigmina salisilat 0,25%.
 Indikasi : glaukoma, zat hambat kolinesterase memberi aktivis miotik. 
Kontra indikasi : penderita yang tidak memerlukan kontriksi seperti pada iritasi akut.
Kemasan : Botol 5ml, 15ml.
b.  Neostigmin
Neostigmin adalah suatu seyawa sintetik yang dapat menghambat asetilkolinesterase secara reversibel seperti fisostigmin. Tetapi tidak seperti fisostigmin, obat ini lebih polar dan oleh sebab itu  tidak dapat  masuk ke dalam SSP. Efeknya terhadap otot rangka lebih kuat dibanding fisostigmin, dan dapat memacu kontraktivitas sebelum terjadi kelumpuhan. Masa kerja obat ini sedang saja biasanya 2-4 jam. Obat ini digunakan untuk memacu kandung kemih, dan saluran cerna, serta sebagai antidotum keracunan tubokuranin dan obat penyekat neuronuskular kompetitif lainnya. Neostigmin juga bermanfaat sebagai terapi simtomatik pada miastenia gravis , suatu penyakit autoimun yang disebabkab oleh antibodi terhadap reseptor nikotinik yang terikat pada reseptor asetilkolin dari sambungan neuromuskular. Keadaan ini menimbulkan degradasi (penghancuran) reseptor nikotinik  tersebut sehingga jumlahnya berkurang untuk berinteraksi dengan neurotransmiter. Efek samping neurotransmiter termasuk diantaranya kerja pacuan kolinergik secara umum seperti salivasi, muka merah dan panas, menurunnya tekanan darah, mual, nyeri perut, diare dan bronkopasme.
Dosis : Pada myastenia oral rata-rata 150 mg sehari dalam 4-6  dosis (bromida), pada glaukoma 1-2 tetes 3-5% larutan metilsulfat.
   Kegunaan klinis : Diagnosa dan pengobatan miastenia gravis, ileus paralitik, atoni otot detrusor kandung kemih, pemulihan blokade neuromuskular setelah anastesi.
   Farmakokinetik : Diserap secara parenteral, dihancurkan dalam saluran cerna. Molekul bermuatan. Tidak melewati sawar darah otak.
   Nama Paten : Prostigmin        ( Combiphar, ICN )
   Neostigmina sebagai garam metil sulfat 0,5 mg/ampul.
Indikasi : mastenia grafis, pencegahan dan pengobatan distensi sesudah operasi dan retensi kemih, pembalikan efek zat blok neuromuskulus non depolarisasi.
Kontra indikasi : Hipersensitifitas, pasien peka bromida, peritonitis atau penyumbatan mekanik saluran cerna atau saluran kemih.
Efek samping : gangguan fungsi saraf, gangguan pembuluh darah, intoksikasi saluran cerna.
Interaksi obat : antibiotik tertentu seperti neomisina streptomisina, dan kanamisina, menunjukkan keaktifan blok depolar ringan tetapi nyata, yang dapat menguatkan blok neuromuskulus.
Kemasan : Ampul 0,5 mg/ml, dos 5 ampul 1 ml
c.  Piridogstigmin
*      Piridogstrigmin adalah penghambat kolinesterase lain yang digunakan untuk pengobatan jangka panjang miastenia gravis. Masa kerjanya lebih panjang (3-6 jam) dari neostigmin (sekitar 2-4 jam).
*      Efek sampingnya lebih ringan dan terutama berupa gangguan lambung-usus. Mulai kerjanya lebih lama.
*      Dosis : oral 3-4 dd 30 mg (bromida)
*      Kegunaan klinis : miastenia gravis
d.   Edrofonium
*      Kerja edrofonium mirip dengan kerja neostigmin, kecuali obat ini lebih cepat diserap dan masa kerjanya lebih singkat (sekitar 10-20 menit). Edrofonium adalah amin kuartener digunakan untuk mendiagnosa miastenia gravis. Injeksi intravena endrofonium  menyebabkdan peningkatan kekuatan otot dengan cepat. Kelebihan dosis dari obat ini harus diperhatikan karena mungkin menimbulkan efek kolinergik. Atropin adalah antidotumnya.
3. Antikolinesterase (Irreversibel)
a.      Isoflurofat
*      Mekanisme kerja : Isoflurofat adalah organosfat yang terikat secara kofalen pada serin –OH  pada sisi aktif asetikolinesterase. Sekali terikat, maka enzim menjadi tidak aktif secara permanen, dan restorasi (pemulihan kembali) aktifitas asetikolinesterase memerlukan sintesis molekul enzim baru. Setelah terjadi modifikasi kovalen asetikolinesterase, maka enzim yang terfosforikasi akan melepas secara perlahan satu gugus isopropilnya. Kehilangan satu gugus akil. Yang sering disebut penuaan, menjadi sulit sekali bagi reaktivator kimia seperti pradiloksin, untuk memecah ikatan antarasisa obat dan enzim. Obat saraf yang baru, ditujukan untuk militer, bekerja setelah beberapa menit atau detik, sedangkan DFT dalam 6-8 jam.
*      Kerja : kerja obat ini meliputi pacuan kolinergik umum, kelumpuhan fungsi motor (yang menimbulkan kesulitan bernafas) dan kejang. Koflurofat menimbulkan pola miosis kuat dan bermanfaat  terapeutik. Atropin dosis besar mampu melawan semua efek sentral isoflurofat.
*      Penggunaan terapi : Bentuk salep mata ini digunakan secara topikal dalam jangka panjang pada pengobatan glaukoma sudut terbuka. Efeknya berakhir mendekati satu minggu setelah penetesan tunggal .[Catatan : ektiofat adalah obat baru yang terikat pula secara kovalen pada asetilkolinesterase. Kegunaanya sama dengan isoflurofat.
*      Reaktifitas asetilkolinesterase : Pralidoksim (PAM) adalah senyawa piridinium sintetik  yang mampu menginaktifkan kembali asetilkolinesterase yang terhambat. Keberadaan gugus bermuatan dari obat ini memungkinkan pendekatan ditempat anionik enzim dimana tempat ini sangat penting untuk menggeser organofosfat dan meregenerasi enzim. Bila obat diberikan sebelum terjadinya penuaan enzim yang teralkilasi terjadi, maka tentu dapat menghilangkan efek soflurofat terkecuali didalam SSP. Tetapi dengan adanya obat saraf yang baru  yang mampu menuakan kompleks enzim dalam beberapa detik saja, maka pralidoksim menjadi kurang efektif.

DAFTAR PUSTAKA 
Mycek, J, Mery, dkk, 2000. ”Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2”, Widya Medika : Jakarta.
Ganiswarna, 1998. ” Farmakologi dan Terapi  ”, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta
Tan Hoan Tjay, Kirana R, 2001, ”Obat-Obat Penting, Khasiat dan Penggunaan ”, DirJen POM RI : Jakarta. 
Olson, James, 2000. ” Belajar Mudah Farmakologi ”,    Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta.
Tim Penyusun. ” Informasi Spesialite Obat Indonesia”. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. Jakarta.











1 komentar: