Senyawa yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik tetapi menghambat secara kompetitif efek suatu agonis di tempat ikatan agonis disebut antagonis.
Antagonis kolinergik (disebut juga obat penyekat kolinergik atau obat antikolinergik) mengikat kolinoseptor tetapi tidak memicu efek intraseluler diperantarai reseptor seperti lazimnya. Yang paling bermanfaat dari obat golongan ini adalah menyekat sinaps muskarinik pada saraf parasimpatis selektif. Oleh karena itu, efek persarafi parasimpatis menjadi terganggu dan kerja pacu simpatis muncul tanpa imbangan.
Kelompok kedua obat ini, penyekat ganglionik, nampaknya lebih menyekat reseptor nikotinik pada ganglia simpatis dan parasimpatis. Keluarga ketiga senyawa ini, obat penyekat neuromuskular, mengganggu transmisi impuls eferen yang menuju otot rangka.
Adapun obat yang akan dibahas adalah obat antimuskarinik, obat penyekat ganglionik dan obat penyekat neuromuskular.
1. Obat Antimuskarinik
Obat golongan ini seperti atropin dan skopolamin bekerja menyekat reseptor muskarinik yang menyebabkan hambatan semua fungsi muskarinik. Selain itu, obat ini menyekat sedikit perkecualian neuron simpatis yang juga kolinergik, seperti saraf simpatis yang menuju ke kelenjar keringat. Bertentangan dengan obat agonis kolinergik yang kegunaan terapeutiknya terbatas, maka obat penyekat kolinergik ini sangat menguntungkan dalam sejumlah besar situasi klinis. Karena obat ini tidak menyekat reseptor nikotinik, maka obat antimuskarinik ini sedikit atau tidak mempengaruhi sambungan saraf otot rangka atau ganglia otonom.
Antimuskarinik ini bekerja dialat persarafi serabut pascaganglion kolinergik. Pada ganglion otonom dan otot rangka, tempat asetilkolin juga bekerja penghambatan oleh atropin hanya terjadi pada dosis sangat besar. Kelompok obat ini memperlihatkan kerja yang hampir sama tetapi dengan afinitas yang sedikit berbeda terhadap berbagai alat; pada dosis kecil (sekitar 0,25 mg) misalnya, atropin hanya menekan sekresi airl iur, mukus, bronkus dan keringat. Sedangkan dilatasi pupil, gangguan akomodasi dan penghambatan nasofagus terhadap jantung baru terlihat pada dosis yang lebih besar (0,5 – 1,0mg). Dosis yang lebih besar lagi diperlukan untuk menghambat peristalsis usus dan sekresi kelenjar di lambung. Beberapa subtipe reseptor muskarinik telah diidentifikasi saat ini. Penghambatan pada reseptor muskarinik ini mirip denervasi serabut pascaganglion kolinergik dan biasanya efek adrenergik menjadi lebih nyata.
Antimuskarinik memperlihatkan efek sentral terhadap susunan saraf pusat, yaitu merangsang pada dosis kecil dan mendepresi pada dosis toksik.
Banyak sekali antikolinergik disintesis dengan maksud mendapatkan obat dengan efek selektif terhadap gangguan tertentu disertai efek samping yang lebih ringan. Saat ini terdapat antimuskarinik yang digunakan untuk : (1) mendapatkan efek perifer tanpa efek sentral misalnya, antispasmodik; (2) penggunaan lokal pada mata sebagai midriatikum; (3) memperoleh efek sentral misalnya, obat untuk penyakit Parkinson; (4) efek bronkodilatasi; dan (5) memperoleh efek hambatan pada sekresi lambung dan gerakan saluran cerna.
a. Atropin
Atropin alkaloid belladonna, memiliki afinitas kuat terhadap reseptor muskarinik, di mana obat ini terikat secara kompetitif, sehingga mencegah asetilkolin terikat pada tempatnya di reseptor muskarinik. Atropin menyekat reseptor muskarinik baik di sentral maupun di saraf tepi. Kerja obat ini berlangsung sekitar 4 jam kecuali bila diteteskan ke dalam mata, maka kerjanya bahkan sampai berhari-hari.
FARMAKODINAMIK
Hambatan oleh atropin bersifat reversible dan dapat diatasi dengan pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian antikolinesterase. Atropin memblok asetilkolin endogen maupun eksogen, tetapi hambatannya jauh lebih kuat terhadap yang eksogen.
1. Susunan Saraf Pusat
Atropin merangsang medula oblongata dan pusat lain di otak. Dalam dosis 0,5 mg (untuk orang Indonesia mungkin ± 0,3 mg) atropin merangsang N.Vagus dan frekuensi jantung berkurang. Efek penghambatan sentral pada dosis ini belum terlihat. Depresi yang timbul khusus dibeberapa pusat motorik dalam otak, dapat menghilangkan tremor yang terlihat pada parkinsonisme. Perangsangan respirasi terjadi sebagai akibat dilatasi bronkus, tetapi dalam hal depresi respirasi oleh sebab tertentu, atropin tidak berguna merangsang respirasi. Bahkan pada dosis yang besar sekali, atropin menyebabkan depresi nafas, eksitasi, disorientasi, delirium, halusinasi dan perangsangan lebih jelas dipusat-pusat lebih tinggi. Lebih lanjut terjadi depresi dan paralisis medulla oblongata.
2. Mata
Alkaloid belladonna menghambat M.constrictor pupilae dan M.Ciliaris lensa mata, sehingga menyebabkan midriasis dan siklopegia (paralisis mekanisme akomodasi). Midriasis mengakibatkan fotofobia, sedangkan siklopegia menyebabkan hilangnya daya melihat jarak dekat.
Sesudah pemberian 0,6 mg atropine SK pada mulanya terlihat efek terhadap kelenjar eksokrin, terutama hambatan salvias, serta brakikardi sebagai hasil perangsangan N.Vagus, midriasis baru terlihat dengan dosis yang lebih tinggi (>1 mg). Mula timbulnya midriasis tergantung dari besarnya dosis, dan hilangnya lebih lambat daripada hilangnya efek terhadap kelenjar liur. Pemberian lokal pada mata menyebabkan perubahan yang lebih cepat dan berlangsung lama sekali (7-12 hari). Hal ini disebabkan atropin sukar dieliminasi dari cairan bola mata. Midriasis oleh alkaloid belladonna dapat diatasi oleh pilokarpin, eserin atau DFP. Tekanan intraokular pada mata yang normal tidak banyak mengalami perubahan.tetapi pada penderita glaukoma, penyeluran dari cairan intraokular akan terhambat, terutama pada glaukoma sudut sempit, sehingga dapa meningkatkan tekanan intraokular. Hal ini disebabkan karena dalam keadaan midriasis muara saluran schlemm yang terletak disudut bilik depan mata menyempit, sehingga terjadi bendungan cairan bola mata.
3. Saluran Nafas
Alkaloid belladonna mengurangi sekret hidung, mulut, faring dan bronkus. Pemakaiannya adalah pada medikasi preanastetik untuk mengurangi sekresi lender pada jalan nafas. Sebagai bronkodilator, atropin tidak berguna dan jauh lebih lemah daripada epinefrin atau aminofilin. Ipratropium bromida merupakan antimuskarinik yang memperlihatkan bronkodilatasi berarti secara khusus.
4. Sistem kardiovaskular
Pengaruh atropin terhadap jantung bersifat bifastik. Dengan dosis 0,25-0,5 mg yang biasa digunakan, frekuensi jantung berkurang, mugkin disebabkan karena perangsangan nukleus N.Vagus. Brakikardi biasanya tidak nyata dan tidak disertai perubahan tekanan darah atau curah jantung. Pada dosis lebih dari 2 mg, yang biasanya hanya digunakan pada keracunan insektisida organosfat, terjadi hambatan N.Vagus dan timbul suatu takikardi. Atropin dalam hal ini lebih efektif daripada skopolamin. Obat ini juga dapat menghambat brakikardi yang ditimbulkan oleh obat kolinergik. Atropin tidak mempengaruhi pembuluh darah maupun tekanan darah secara langsung, tetapi menghambat vasodilatasi oleh asetikolin atau ester kolin yang lain. Atropin tidak berefek terhadap sirkulasi darah bila diberikan sendiri, karena pembuluh darah hampir tidak dipersarafi parasimpatik. Dilatasi kapiler pada bagian muka dan leher terjadi pada dosis yang besar dan toksik. Kelainan ini mungkin dapat dikacaukan dengan penyakit yang menyebabkan kemerahan kulit didaerah tersebut, vasodilatasi ini disertai dengan naiknya suhu kulit, Hipotensi ortostatik kadang-kadang dapat terjadi setelah pemberian dosis 2 mg.
5. Saluran Cerna.
Karena bersifat menghambat peristaltis lambung dan usus, atropin juga disebut obat antispasmodik. Penghambatan terhadap asetkolin eksogen (atau ester kolin) terjadi lengkap, tetapi terhadap asetikolin endogen hanya terjadi parsial. Atropin menyebabkan berkurangnya sekresi liur dan sebagian juga sekresi lambung. Pada tukak pektik, atropin sedikit saja mengurangi sekresi HCl, karena sekresi asam ini lebih dibawah control fase gaster daripada oleh N.Vagus. Gejala-gejala ulkus peptikum setelah pemberian atropin terutama dikurangi oleh hambatan motilitas lambung, inipun memerlukan dosis yang selalu disertai dengan keringnya mulut. Tetapi sekali terjadi blokade, maka blokade akan tertahan untuk waktu yang agak lama. Atropin hampir tidak mengurangi sekresi cairan pankreas, empedu dan cairan usus, yang lebih banyak dikontrol oleh faktor hormonal.
Antimuskarinik yang lebih selektif ialah pirenzepin yang afinitasnya lebih jelas pada reseptor M1, konstante disosiasi pirenzepin pada M1, kira-kira 5 kali konstante disosiasi pada M2.
Pirenzepin bekerja lebih selektif menghambat sekresi asam lambung dan pepsin pada dosis yang kurang mempengaruhi organ lain. Sekresi asam lambung pada malam hari dapat diturunkan sampai 44%. Dengan dosis 100 mg sehari, sekresi saliva dan motilitas kolon berkurang. Pengosongan lambung dan faal pankreas tidak dipengaruhi obat ini.
6. Otot polos lain
Saluran kemih dipengaruhi oleh atropin dalam dosis agak besar (kira-kira 1 mg). Pada piolegram akan terlihat dilatasi kaliks, pelvis, ureter dan kandung kemih. Hal ini dapat mengakibatkan retensi urin. Retensi urin disebabkan urin disebabkan relaksasi M. destrusor konstriksi sfingter uretra. Bila ringan akan berupa kesulitan miksi yaitu penderita harus mengejan sewaktu miksi. Efek antispasmodik pada saluran empedu, tidak cukup kuat untuk menghilangkan kolik yang disebabkan oleh batu dalam saluran empedu. Pada uterus yang inervasi otonomnya berbeda dari otot polos lainnya, tidak terlihat relaksasi, sehingga atropin hampir tidak bermamfaat untuk pengobatan nyeri haid.
7. Kelenjar eksokrin
Kelenjar eksokrin yang paling jelas dipengaruhi oleh atropin ialah kelenjar liur dalam mulut serta bronkus. Untuk menghambat aktivitas kelenjar keringat diperlukan dosis yang lebih besar; kulit menjadi kering, panas dan merah terutama dibagian muka dan leher. Hal ini menjadi lebih jelas lagi pada keracunan yaitu seluruh suhu badan meningkat. Efek terhadap kelenjar air mata dan air susu tidak jelas.
FARMAKOKINETIK
Alkaloid belladonna mudah diserap dari semua tempat, kecuali kulit. Pemberian atropin sebagai obat tetes mata, terutama pada anak dapat menyebabkan absorbsi dalam jumlah yang cukup besar lewat mukosa nasal, sehingga menimbulkan efek sistemik dan bahkan keracunan. Untuk mencegah hal ini perlu dilakukan penekanan kantus internus mata setelah penetesan obat agar larutan atropin tidak masuk ke rongga hidung, terserap dan menyebabkan efek sistemik. Dari sirkulasi darah, atropin cepat memasuki jaringan dan kebanyakan mengalami hidrolisis enzimatik oleh hepar. Sebagian diekskresi melalui ginjal dalam bentuk asal.
Atropin mudah diserap, sebagian dimetabolisme di dalam hepar dan dibuang dari tubuh terutama melalui air seni. Masa paruhnya sekitar 4 jam.
EFEK SAMPING / TOKSIK
Efek samping antimuskarinik hampir semuanya merupakan efek farmakodinamik obat. Pada orang muda efek samping mulut kering, gangguan miksi, meteorisme sering terjadi, tetapi tidak membahayakan. Pada orang tua efek sentral terutama sindrom demensia, dapat terjadi. Memburuknya retensi urin pada pasien dengan hypertrofi prostat dan penglihatan pada pasien glaukoma, menyebabkan obat ini kurang diterima. Efek samping sentral kurang pada pemberian antimuskarinik yang bersifat ammonium kuartener. Walaupun demikian selektifitas hanya berlaku pada dosis rendah dan pada dosis toksik semuanya dapat terjadi.
Muka merah setelah pemberian atropin bukan alergi melainkan efek samping sehubungan vasodilatasi pembuluh darah di wajah. Alergi terhadap atropin tidak sering ditemukan.
Atropin kadang-kadang menyebabkan keracunan, terutama pada anak, karena kesalahan dalam menghitung dosis, atau sewaktu meracik obat kombinasi, karena itu atropin tidak dianjurkan diberikan pada anak-anak di bawah 4 tahun. Telah dijelaskan di atas bahwa kadang-kadang obat tetes matapun dapat menyebabkan keracunan bila tidak dilakukan tindakan untuk mengurangi absorpsinya. Keracunan terjadi akibat makan buah dari tanaman yang mengandung alkaloid belladonna, misalnya kecubung. Walaupun gejala keracunan obat ini sangat mengejutkan, kematian dapat terjadi. Telah dilaporkan bahwa dosis 500–1000 mg masih belum merupakan dosis fatal. Sebaliknya pada anak, dosis 10 mg mungkin menyebabkan kematian. Perbedaan dalam dosis fatal ini mungkin berdasarkan reaksi idiosinkrasi dan kepekaan seseorang. Karena itu, tiap keracunan alkaloid belladonna tidak boleh dianggap tidak berbahaya.
Atropin dapat menyebabkan mulut kering, penglihatan mengabur, mata rasa berpasir, takikardia dan konstipasi. Efeknya terhadap SSP termasuk rasa capek, bingung, halusinasi, delinium, yang mungkin berlanjut menjadi depresi, kolaps sirkulasi dan sistem pernapasan dan kematian. Pada individu yang lebih tua, pemakaian atropine dapat menimbulkan midriasis dan sikloplegi dan keadaan ini cukup gawat karena dapat menyebabkan serangan glaukoma berulang setelah menjalani kondisi tenang.
Diagnosis keracunan atropin tidak akan meleset, asal saja kemungkinan keracunan ini diingat pada tiap keadaan toksik dengan gejala sentral ditambah dengan midriasis, kulit merah dan kering serta takikardi. Teoritis diagnosis dapat ditegakkan bila sesudah suntikan 10 mg metakolin, tidak terlihat gejala-gejala kolinergik yaitu salvias, berkeringat, lakrimasi dan lain-lainnya, namun hal ini jarang dibutuhkan.
Pengobatannya ialah dengan bilas lambung bila obat baru saja ditelan dan pemasangan klisma untuk mempercepat pengeluaran obat ini dari usus. Eksitasi dapat dikurangi dengan barbiturat kerja singkat, kloralhidrat atau diazepam dengan dosis secukupnya saja. Bila ada depresi napas perlu dilakukan napas buatan. Bila penderita tidak sadar untuk waktu yang lama, keseimbangan elektrolit perlu dimonitor dan diperbaiki. Kateterisasi perlu dikerjakan bila penderita mengalami retensi urin. Kamar perlu digelapkan untuk melindungi retina dari cahaya yang berlebihan.
DOSIS
Dosis atropin umumnya berkisar antara seperempat sampai 1 mg. Untuk keracunan antikolinesterase digunakan dosis 2 mg/kali. Dosis untuk mengatasi keracunan kolinergik pada anak adalah 0,04 mg/kgBB per kali.
OBAT SINTETIK MIRIP ATROPIN
Karena efek tambahan atropin begitu banyak dan tidak menyenangkan, maka telah disintesis banyak zat untuk mendapatkan obat dengan kerja yang agak selektif. Usaha ini ditujukan untuk obat yang bekerja khusus terhadap mata, ulkus peptikum dan penyakit parkinson. Pada umumnya efek farmakodinamik tidak banyak berbeda dengan atropin.
Ekstrak Belladona ialah ekstrak yang mengandung campuran alkaloid. Homatropin ialah obat semisintetik, kekuatannya 1/10 dari atropin. Hanya digunakan sebagai midriatik (larutan 2-5 % homatropin HBr), karena mula kerjanya cepat dan efeknya hilang dalam 24 jam.
Homatropin metilbromida juga obat semisintetik, dipakai sebagai obat antispasmodik (dosis oral 2,5-5 mg). Sifat penghambat ganglionnya lebih nyata daripada atropin.
Skopolamin metilbromida memperlihatkan efek sentral kurang dari skopolamin, lebih lemah daripada atropin, tetapi kerjanya bertahan lebih lama, yaitu kira-kira 8 jam. Dosis oral adalah 2,5 mg.
Metantelin bromida memperlihatkan efek penghambat ganglion yang lebih besar daripada atropine, terutama digunakan untuk ulkus peptic dengan dosis 50-100 mg. Propantelin Br lebih kuat daripada metantelin Br.
Oksifenonium menghambat ganglion lebih kuat, daripada metantelin bromida. Terutama dipakai untuk ulkus peptikum dengan dosis 5 mg.
SEDIAAN
Banyak sekali me-too drugs dalam golongan ini yang semuanya tidak memberikan keuntungan yang mencolok dari segi efektifitasnya, toksisitas dan harga. Daftar antikolinerin dapat dilihat dalam table berikut :
Nama generik Sediaan |
Atropin sulfat 0,25 dan 0,50 mg tablet dan suntikan Butropium bromida 5 mg/tablet Ekst. Belladon 10 mg/tablet Fentonium bromida 20 mg/tablet Hiosin N-butilbromida 10 mg/tablet 20 mg/tablet Skopolamin metal-bromida 1 mg/tablet Oksufenonium bromida 5 mg/tablet Oksifensiklimin HCl 5 mg/tablet Pirifinium bromida 15 mg/tablet Propantelin bromida 15mg/tablet Pirenzepin 25mg/tablet |
PENGGUNAAN KLINIS
1. Oftalmik
Biasanya dipakai lokal untuk menimbulkan midriasis pada beberapa keadaan. Minyasalnya diperlukan untuk melakukan funduskopi, menghilangkan daya akomodasi sewaktu pemeriksaan refraksi dan untuk beberapa keadaan infeksi misalnya iritis, iridosiklitis dan keratitis. Infeksi mata di bagian depan mata ini sering mengakibatkanperlekatan antara iris dengan lensa atau kornea. Untuk menghindari ini, iris perlu ditarik jauh dari tempat persentuhan dengan lensa.
Atropin biasanya dipakai dengan kekuatan larutan 1 %, dua atau tiga tetes larutan ini cukup untuk menyebabkan midriasis selama beberapa hari selama seminggu. Dalam keadaan infeksi perlu diberi dua atau tiga kali sehari untuk mendapatkan efek penuh. Tentu pengobatan dengan antibiotik harus disertakan.
Homatropin sebagai obat tetes mata (2-5 %) bekerja lebih pendek, yaitu kira-kira 24 jam.
Tropikamid 1% diberikan 2 tetes selang 5 menit menimbulkan sikloplegia dan midriasis dalam 20-35 menit. Fungsi akomodasi kembali dalam 2-6 jam.
Semua penderita yang diberi antikolinergik sebagai obat tetes mata harus diperiksa dahulu untuk menentukan adanya glaukoma, karena penyakit ini merupakan kontraindikasi utama antikolinergik. Peninggian tekanan intraokuler terus-menerus dapat menyebabkan kebutaan.
2. Saluran cerna
Antikolinergik digunakan untuk menghambat motilitas lambung dan usus. Terutama dipakai pada ulkus peptikum dan sebagai pengobatan simtomatik pada berbagai keadaan misalnya disentri, kolitis, diverticulitis dan kolik karena obat atau obat lain. Dosis untuk biasanya sangat bervariasi dan harus disesuaikan untuk tiap penderita sedemikian rupa, sehingga gejala-gejala tambahan dirasakan seminimal mungkin. Beberapa macam diare yang disertai faktor psikis perlu tambahan obat penenang. Sedangkan diare non-spesifik biasanya akan berhenti sendiri dalam beberapa hari bila isi kolon telah bersih. Tentu tidak boleh dilupakan pemberian oralit bila kehilangan cairan banyak.
Dalam pengobatan ulkus peptikum, atropin atau antikolinergik lain dalam dosis yang biasa digunakan tidak cukup untuk menghambat sekresi asam lambung.
3. Saluran napas
Antikolinergik dapat berguna untuk mengurangi ekskresi lendir hidung dan saluran napas secara simtomatis, misalnya untuk rhinitis akut, koriza dan hay fever. Terapi antikolinergik tidak memperpendek masa penyakit.
INDIKASI LAIN
Medikasi preanestetik, atropin berguna untuk mengurangi sekresi lendir jalan napas pada anastesi, terutama pada anastesi inhalasi dengan gas-gas yang merangsang.
Atropin kadang-kadang berguna untuk menghambat N.Vagus pada bradikardi atau sinkope akibat refleks sinus karotis yang hiperaktif. Beberapa jenis blok A-V yang disertai dengan hiperaktivitas vagus dapat diperbaiki dengan atropin.
Terhadap otot polos, efek relaksasi uterus oleh atropin tidak dapat diandalkan dan zat ini hampir tidak berguna untuk nyeri haid. Efektivitasnya terhadap kolik ginjal atau saluran empedu juga tidak dapat dikatakan konsisten dan untuk ini perlu dikombinasi dengan petidin atau analgesik lain.
Atropin berguna untuk mengantagonis gejala parasimpatomimetik yang menyertai pengobatan kolinergik pada miastenia gravis. Obat ini tidak mengganggu efek kolinergik terhadap otot rangka.
a. Skopolamin
Skopolamin, alkaloid belladonna lainnya, dapat menimbulkan efek tepi yang sama dengan efek atropin. Tetapi efek skopolamin lebih nyata pada SSP dan masa kerjanya lebih lama dibandingkan atropin. Obat ini menyebabkan kerja khusus sebagai berikut :
EFEK
Skopolamin merupakan salah satu obat anti mabuk perjalanan yang paling efektif. Obat ini menimbulkan pula efek penumpukan daya ingat jangka pendek. Bertolak belakang dengan atropin, obat ini menyebabkan sedasi, rasa mengantuk, tetapi pada dosis yang lebih tinggi bahkan menimbulkan kegelisahan/kegaduhan.
PENGGUNAAN TERAPI
Walaupun mirip dengan atropin, indikasi obat ini terbatas pada pencegahan mabuk perjalanan dan penumpukan daya ingat jangka pendek. Sebagaimana obat lainnya untuk kondisi yang sejenis, maka penggunaan untuk maksud pencegahan jauh lebih efektif daripada pengobatan mabuk yang benar-benar telah terjadi. Efek amnesik skopolamin ini justru dapat dimanfaatkan untuk membantu prosedur anastesi.
FARMAKOKINETIK DAN EFEK SAMPING
Aspek ini persis sama seperti atropin.
b. Ipratropium
Ipatropium bromida ialah suatu derivat metal atropin, jadi juga sebagai ammonium kuartener; efek aktivitas sebagai bronkodilator bila diinhalasi tidak sekuat beta-agonis. Obat diindikasikan mengatasi bronkokonstriksi yang tidak dapat diatasi lagi dengan teofilin atau beta-2 agonis atau bila kedua obat tersebut tidak terterima oleh pasien.
Pada pemberian secara inhalasi ipratropium bromida tidak mempengaruhi kekentalan, produksi, mapun proses pembersihan mukus. Obat ini juga praktis tidak diserap sehingga jarang menimbulkan efek samping sistemik.
Efektivitas obat mencapai puncaknya antara 1-2 jam setelah inhalasi dan bertahan 3-5 jam. Toleransi tidak terjadi dalam pemakaian sampai 5 tahun. Obat ini diperkirakan cukup aman untuk penderita dengan glaukoma atau hipertrofi prostat.
Penyedotan ipratropium, suatu turunan kuartener atropin, bermanfaat untuk pengobatan asma dan penyakit paru obstruktif menahun pada pasien yang tidak cocok menelan agonis adrenergik.
1. Penyekat Ganglion
Penyekat ganglionik ini secara spesifik bekerja terhadap reseptor nikotinik, barangkali dengan menyekat kanal ion ganglia otonom. Obat ini menunjukkan tidak adanya selektivitas terhadap ganglia simpatis maupun parasimpatis dan tidak efektif sebagai antagonis neuromuskular. Oleh karena itu, obat ini menghentikan semua keluaran sistem saraf otonom pada reseptor nikotinik. Respon yang teramati memang kompleks dan sulit diduga, sehingga tidak mungkin memperoleh kerja yang selektif. Dengan demikian maka penyekat ganglionik sangat jarang digunakan untuk maksud terapi saat ini. Tetapi, obat ini sering digunakan sebagai alat dalam eksperimen farmakologi.
a. Nikotin
Suatu komponen dari rokok sigaret, nikotin memiliki sejumlah kerja yang kurang menyenangkan. Tergantung pada dosis, nikotin mendepolarisasi ganglia, menimbulkan pertama kali gejala pacuan dan kemudian diikuti oleh paralisis dari semua ganglia. Efek pacunya kompleks, termasuk peningkatan tekanan darah, pertambahan denyut jantung (akibat pelepasan transmiter dari ujung saraf adrenergik dan medulla adrenalis), serta peningkatan peristalsis dan sekresi. Pada dosis lebih tinggi, tekanan darah justru menurun karena penyekatan ganglionik dan aktivitas saluran cerna dan otot-otot kandung kemih terhenti.
Nikotin adalah zat aktif dalam tembakau. Meskipun obat ini sekarang tidak lagi digunakan dalam terapi (kecuali dalam terapi penghentian merokok). Nikotin tetap penting karena nomor 2 setelah kafein digunakan paling banyak sebagai stimulan SSP dan kedua dari alkohol sebagai obat yang paling banyak disalah gunakan. Kombinasi dengan ter dan karbon monoksida yang ditemukan dalam asap rokok, nikotin merupakan faktor resiko serius untuk penyakit paru dan kardiovaskular, berbagai kanker dan penyakit lainnya.
MEKANISME KERJA
Pada dosis rendah, nikotin menyebabkan stimulasi ganglion dengan depolarisasi. Pada dosis tinggi, nikotin menyebabkan penghambatan ganglionik. Reseptor nikotin terdapat dalam SSP tempat kerja serupa terjadi.
KERJA
1. SSP
Nikotin sangat larut dalam lipid dan dengan mudah melewati sawar otak darah. Dengan merokok atau memberikan dosis nikotin yang rendah akan menyebabkan euphoria ringan dan meningkatkan kesadaran, serta relaksasi dan memperbaiki atensi, daya belajar, menyelesaikan masalah dan waktu reaksi. Nikotin dosis tinggi menyebabkan paralisis pernapasan pusat dan hipotensi hebat karena paralisis medula.
2. Efek perifer
Efek perifer nikotin cukup kompleks. Stimulasi ganglion simpatik dan medula adrenal meningkatkan tekanan darah dan nadi. Penggunaan tembakau berbahaya pada pasien hipertensi. Banyak pasien dengan penyakit vaskular perifer mengalami eksaserbasi gejala setelah merokok. Sebagai contoh, vasokonstriksi akibat nikotin dapat menurunkan aliran darah koroner, mempengaruhi pasien angina. Stimulasi ganglia parasimpatik juga meningkatkan aktifitas motorik pencernaan. Pada dosis tinggi, tekanan darah turun dan aktifitas saluran pencernaan dan otot kandung kemih berhenti akibat penghambatan nikotin pada ganglia parasimpatik.
FARMAKOKINETIK
Nikotin sangat larut lipid. Akibatnya absorbsi mudah terjadi pada mukosa mulut, paru, mukosa pencernaan dan kulit. Nikotin melewati plasenta dan dikeluarkan dalam air susu ibu yang menyusui. Lebih dari 90% nikotin diisap dari asap yang diabsorbsi. Bersihan nikotin menyangkut metabolism dalam paru dan hati dan ekskresi urin. Toleransi terhadap efek toksik nikotin terjadi cepat, sering dalam hari-hari setelah penggunaan dimulai.
EFEK SAMPING
Efek nikotin pada SSP termasuk iritasi dan tremor. Nikotin dapat juga menyebabkan kram pencernaan, diare dan peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Selain itu, merokok meningkatkan metabolisme beberapa obat.
b. Trimetafan
Trimetafan adalah obat penyekat ganglionik nikotinik bekerja singkat dan bersifat kompetitif yang harus diberikan secara infus intravena. Saat ini trimetafan digunakan untuk menurunkan tekanan darah dalam keadaan darurat seperti hipertensi yang disebabkan oleh edema paru atau parahnya aneurisma aorta bila obat lain tidak dapat digunakan.
c. Mekamilamin
Mekamilamin menyekat kompetitif ganglia nikotinik. Lama kerjanya berkisar 10 jam setelah pemberian tunggal. Ambilan obat melalui penyerapan oral baik, berbeda dengan trimetafan.
2. Penyekat Neuromuskular
Obat penyekat neuromuskular ini strukturnya analog dengan asetilkolin dan bekerja baik sebagai antagonis (tipe nondepolarisasi) maupun agonis (tipe depolarisasi) terhadap reseptor yang terdapat cekungan sambungan neuromuskular. Penyekat neuromuskular bermanfaat secara klinik selama operasi guna melepaskan otot secara sempurna tanpa memperbanyak obat anastesi yang sebanding dalam melemaskan otot. Kelompok kedua pelemas otot, pelemas otot sentral digunakan untuk mengontrol tonus otot spastik.
a. Penyekat nondepolarisasi (kompetitif)
Obat pertama yang mampu menyekat sambungan neuromuskular otot rangka adalah kurare, yang dipakai oleh pemburu alam di daerah amazon di Amerika Selatan untuk melumpuhkan binatang buruannya. Obat tubokurarin akhirnya dimurnikan dengan baik dan dikenalkan dalam klinik pada awal tahun 1940-an. Obat penyekat neuromuskular jelas mempertinggi tingkat keamanan anestesi karena obat anastesi yang dibutuhkan untuk sampai ke tingkat melemaskan otot tidak perlu terlalu banyak.
MEKANISME KERJA
- Pada dosis rendah
Obat penyekat neuromuskular nondepolarisasi bergabung dengan reseptor nikotinik dan mencegah pengikatan asetilkolin. Obat ini justru mencegah depolarisasi membran sel otot dan menghambat kontraksi otot. Karena obat ini bersaing dengan asetilkolin pada reseptor, maka disebut penyakit kompetitif. Kerjanya dapat dimusnahkan dengan memperbanyak kadar asetilkolin pada celah sinaptik, sebagai contoh pemberian obat penghambat kolinesterase seperti neostigmin atau edrofonium. Ahli anestesi sering menggunakan strategi ini untuk mempersingkat lama penyekatan neuromuskular.
- Pada dosis tinggi
Penyakit nondepolarisasi menghadang kanal ion pada cekungan. Keadaan ini menyebabkan pelemahan transmisi neuromuskular lebih lanjut dan mengurangi kemampuan obat penghambat asetilkolinesterase untuk menghilangkan kerja obat pelemas otot nondepolarisasi.
EFEK
Tidak semua otot sama pekanya terhadap penyekatan oleh obat penyekat kompetitif. Otot-otot kecil yang berkontraksi cepat pada muka dan mata sangat peka sekali dan dilumpuhkan pertama kali, kemudian diikuti oleh otot jari-jari. Setelah itu otot tungkai dan lengan; leher, dan batang tubuh dilumpuhkan, kemudian otot sela iga terganggu dan terakhir otot diafragma lumpuh.
PENGGUNAAN TERAPI
Obat penyekat ini digunakan dalam terapi sebagai obat pelengkap dalam anatesi selama operasi guna melemaskan otot rangka.
FARMAKOKINETIK
Semua obat penyekat neuromuskular disuntikkan intravena karena penyerapannya peroral sedikit sekali. Obat ini menembus membran dan tidak masuk ke dalam sel atau melintas sawar darah otak. Kebanyakan obat ini tidak dimetabolisme; kerjanya diakhiri dengan cara penyebaran kembali. Sebagai contoh, tubokurarin, pankuronium, mivakurium, metokurin dan doksakurium diekskresikan ke dalam urin dalam bentuk utuh. Atrikurium dihancurkan spontan di dalam plasma dan dengan hidrolisis ester. Obat aminosteroid (vekuronium dan rokuronium) diasetilasi dalam hati dan bersihannya akan memanjang pada pasien dengan penyakit hepar. Obat ini diekskresi dalam bentuk utuh ke dalam empedu.
b. Obat depolarisasi
1. Mekanisme kerja
Obat penyekat neuromuskular depolarisasi, suksinilkolin melekat pada reseptor nikotinik dan bekerja mirip asetilkolin untuk mendepolarisasi sambungan. Tidak seperti asetilkolin yang segera dirusak oleh asetilkolinesterase, maka obat depolarisasi ini kadarnya tetap tinggi dalam celah sinaptik dan tetap lekat pada reseptor dalam jangka waktu yang relatif lama dan terus menerus memacu reseptor. Obat depolarisasi ini mula-mula membuka kanal natrium yang berhubungan dengan reseptor nikotinik yang menyebabkan depolarisasi reseptor (fase I). Keadaan ini menimbulkan suatu gerakan berkerut sesekali pada otot (fasikulasi). Ikatan yang berlanjut dari obat depolarisasi ini melumpuhkan reseptor sehingga tidak mampu lagi menstransmisi impuls yang lebih lanjut. Setelah beberapa saat, maka depolarisasi berlanjut, ini justru menimbulkan repolarisasi bertahap seiring dengan menutupnya kanal natrium atau tersekat. Keadaan ini tidak memungkinkan (tahan) terhadap depolarisasi (fase II) dan terjadi kelumpuhan fleksid.
2. Efek
Urutan kelumpuhan mungkin sedikit berbeda, tetapi sebagaimana yang terjadi pada penyakit kompetitif, otot-otot pernapasan lumpuh belakangan. Suksinilkolin mengawali efeknya dengan fasikulasi otot secara singkat, kemudian dilanjutkan dengan lumpuh dalam beberapa menit. Obat ini tidak menyebabkan penyekatan ganglion kecuali pada dosis tinggi, walaupun sebenarnya obat ini memacu secara lemah pelepasan histamin. Dalam keadaan normal, lama kerja suksinilkolin sangat singkat sekali, karena obat ini cepat sekali dirusak oleh kolinesterase dalam plasma.
3. Penggunaan terapi
Karena mula kerjanya cepat dan lama kerja singkat, suksinilkolin berguna sewaktu intubasi endotrakeoal cepat dibutuhkan selama induksi anestesi (kerja cepat sangat penting untuk mencegah aspirasi kandungan lambung selama intubasi). Obat ini digunakan juga selama terapi syok elektrokonvulsif.
4. Farmakokinetik
Suksinilkolin disuntikkan intravena. Kerjanya yang sangat singkat (beberapa menit saja) disebabkan oleh hidrolisis cepat kolinesterase dalam plasma. Oleh karena itu, obat ini biasanya diberikan dalam bentuk infus terus-menerus.
5. Efek samping
a. Hipertermia
Bila halotan digunakan sebagai anastesi, maka pemberian suksinilkolin terkadang menyebabkan hipertermia sangat berat (dengan gejala kaku otot dan panas tubuh yang sangat tinggi) pada orang yang dasar genetiknya peka. Pada keadaan demikian harus diobati dengan mendinginkan segera tubuh pasien dengan pemberian dantrolen, yang menghambat pelepasan Ca- dari retikulum sarkoplasmik sel otot yang berarti mengurangi produksi panas dan melemaskan tonus otot.
b. Apnea
Pasien yang dasar genetiknya berkaitan dengan defisiensi kolinesterase plasma atau adanya bentuk atipikal dari enzim tersebut sering terjadi apnea (tidak dapat bernapas) karena kelumpuhan otot diafragma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar