Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi-sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa narkotika dapat menekan reaksi psikis yang diakibatkan oleh perangsang nyeri. Hal lainnya mengenai zat ini adalah tentang analgetika narkotika, yang saat ini disebut juga opioida (=mirip opiat), adalah zat yang bekerja terhadap reseptor opioid khas di SSP, hingga persepsi nyeri dan respons emosional terhadap nyeri berubah (dikurangi). Minimal ada 4 jenis reseptor, pengikatan padanya menimbulkan analgesia. Tubuh dapat mensintesa zat-zat opioidnya sendiri, yakni zat-zat endorfin, yang juga bekerja melalui reseptor opioid tersebut. Endorfin. Dimana zat endorfin (“morfin endogen”) ini adalah kelompok polipeptida endogen yang terdapat di CCS dan dapat menimbulkan efek yang menyerupai efek morfin. Zat-zat ini dapat dibedakan antara β-endorfin, dynorfin, dan enkefalin, yang menduduki reseptor-reseptor berlainan. Secara kimiawi, zat-zat ini berkaitan dengan kortikotropin (ACTH), menstimulasi pelepasannya, juga dari somatotropin dan prolaktin. Sebaliknya, pelepasan LH dan FSH dihambat oleh zat ini. β-endorfin pada hewan berkhasiat menekan pernapasan, menurunkan suhu tubuh, dan menimbulkan ketagihan. Zat ini berdaya analgetis kuat, dalam arti tidak mengubah persepsi nyeri, melainkan memperbaiki penerimaannya. Rangsangan listrik dari bagian-bagian tertentu otak mengakibatkan peningkatan kadar endorfin dalam CCS. Mungkin hal ini menjelaskan efek analgesia yang timbul (selama elektrostimulasi) pada akupunktur, atau pada stress (misalnya pada cedera hebat). Peristiwa efek plasebo juga dihubungkan dengan endorfin.
Berdasarkan ketentuan umum, yang memuat definisi tentang narkotika maka dapat disimpulkan bahwa narkotika itu sendiri merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi-sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan menimbulkan ketergantungan (Tan Hoan Tjay,2002).
Adapun ruang lingkup dari narkotika itu sendiri beserta tujuan dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan yang mencakup pasal-pasal dibawah ini adalah:
Pasal 2: Bahwa narkotika digolongkan menjadi narkotika golongan I, narkotika golongan II, dan narkotika golongan III.
Pasal 4: Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan / atau pengembangan ilmu pengetahuan.
Pasal11: Mengenai cara penyimpanan dan kewajiban membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan / atau pengeluaran narkotika (Tan Hoan Tjay,2002).
Namun dalam peredarannya / penyerahannya narkotika hanya dapat dilakukan oleh apotik, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dan dokter. Apotik hanya dapat menyerahkan narkotik kepada rumah sakit, puskesmas, apotik lainnya, balai pengobatan, dokter, dan pasien. Rumah sakit, apotik, puskesmas dan balai pengobatan hanya dapat menyerahkan narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter (Tan Hoan Tjay,2002).
Peran serta masyarakat adalah mencakup penyertaan masyarakat dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Adapun lampiran Undang-undang No.22 ini yang mencakup:
a. Golongan I yang mencakup 26 bahan, antaralain:
1. Tanaman Papaver somniferum dan semua bagian-bagiannya.
2. Opium mentah.
3. Opium masak: candu dan jicing (sisa-sisa candu setelah diisap).
4. Tanaman Erythroxylon coca dan semua bagian-bagiannya.
5. Kokain.
6. Tanaman ganja (genus Cannabis) dan semua bagian-bagiannya.
7. Tetrahidrokanabinol dan semua turunannya.
8. Heroin.
b. Golongan II yang mencakup 87 zat / sediaan, antaralain: dekstromoramida (Palfium),difenoksilat, fentanil, levorvanol, metadon (Symoron), morfina, opium, petidina, dan sulfentanil.
c. Golongan III yang mencakup 14 zat / sediaan, antaralain: dekstropropoksifena, etilmorfina (Dionin) dan kodein (Tan Hoan Tjay,2002).
Kesadaran akan perasaan sakit terbentuk dari dua proses, yakni penerimaan perangsang nyeri di otak besar dan reaksi emosional dari individu terhadapnya. Analgetika mempengaruhi proses pertama dengan jalan meningkatkan ambang kesadaran akan perasaan sakit, sedangkan narkotika itu sendiri menekan reaksi psikis yang diakibatkan oleh perangsang nyeri itu. Dilain pihak fungsi SSP dapat ditekan seluruhnya secara tidak spesifik oleh zat-zat pereda pusat seperti hipnotika dan sedativa. Sebagai akibatnya kesadaran untuk impuls eksogen diturunkan serta aktivitas fisik dan mental dicegah. Obat-obat ini tidak mempengaruhi tingkah laku (behaviour) secara spesifik, sebagaimana halnya dengan tranquillizers, yang disamping itu juga berkhasiat depresif terhadap SSP. Antagonis faali dari obat-obat tersebut adalah zat-zat yang berkhasiat menstimulasi seluruh SSP, yakni analeptika (wekamin) dan antidepresiva. Kedua jenis obat ini mempengaruhi semangat dan suasana jiwa berdasarkan kegiatan langsung terhadap otak (Tan Hoan Tjay,2002).
System saraf perifer berfungsi meneruskan impuls saraf listrik dari dan ke susunan saraf pusat, melalui masing-masing neuron efferent (motoris) dan neuron afferent (sensory). Impuls eksogen diterima oleh sel-sel penerima (reseptor) untuk kemudian diteruskan ke otak atau sum-sum belakang. Rangsangan dapat berupa perangsang (stimuli) nyeri, suhu, perasaan, penglihatan, pendengaran, dan sebagainya. Dimana telah dipahami sebelumnya bahwa impuls saraf yang berhubungan dengan pusat nyeri (di otak), pusat tidur (di hipothalamus), dan kapasitas mental, yang menjadi fungsi kulit otak (cortex). Hal ini pula dapat diperjelas dengan adanya penggolongan sistem yang ada di dalam tubuh kita yaitu:
a) Susunan saraf pusat (SSP), yakni yang terdiri dari otak dan sum-sum belakang; dan
b) System saraf perifer, yakni yang mencakup;
- Susunan saraf otonom (SSO) dan
- Saraf otak dan tulang belakang (Tan Hoan Tjay,2002).
Atas dasar cara kerjanya, obat-obat ini dapat dibagi dalam 3 kelompok, yakni:
a. agonis opiat, yang dapat dibagi dalam: alkaloida candu: morfin, kodein, heroin, nicomorfin. Zat-zat sintetis: metadon dan derivat-derivatnya (dekstromoramida, propoksifen, bezitramida), petidin dan derivatnya (fentanil, sufentanil), dan tramadol. Cara kerja obat-obat ini sama dengan morfin, hanya berlainan mengenai potensi dan lama kerjanya, efek sampingnya dan risiko akan kebiasaan dengan ketergantungan fisik.
b. Antagonis opiat: nalokson, nalorfin, pentazosin, buprenorfin, dan nalbufin. Bila digunakan sebagai analgetika, obat ini dapat menduduki salah satu reseptor.
c. Kombinasi. Zat-zat ini juga mengikat pada reseptor opioid, tetapi tidak mengaktivasi kerjanya dengan sempurna (Tan Hoan Tjay,2002).
Undang-undang narkotika. Dikebanyakan Negara, beberapa obat dari kelompok obat ini, seperti propoksifen, pentazosin, dan tramadol, tidak termasuk dalam undang-undang narkotika, karena bahaya kebiasaan dan adiksinya ringan sekali. Namun, penggunaannya dalam jangka waktu lama tidak dianjurkan. Pada tahun 1978, propoksifen di negeri Belanda dimasukkan dalam “Opiumwet” (Tan Hoan Tjay,2002).
Mekanisma kerja dari senyawa endorfin adalah bekerja dengan jalan menduduki reseptor-reseptor nyeri di SSP, hingga perasaan nyeri dapat diblokir. Khasiat analgetis opioida berdasarkan kemampuannya untuk menduduki sisa-sisa reseptor nyeri yang belum ditempati endorfin. Tetapi, bila analgetika tersebut digunakan terus-menerus, pembentukan reseptor-reseptor baru dari stimulasi dan produksi endorfin di ujung saraf otak dirintangi. Akibatnya, terjadilah kebiasaan dan ketagihan (Tan Hoan Tjay,2002).
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau morfin. Meskipun memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain, golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri. Tetapi semua analgesik opioid menimbulkan adiksi, maka usaha untuk mendapatkan suatu analgesik yang ideal masih tetap diteruskan dengan tujuan mendapatkan analgesik yang sama kuat dengan morfin tanpa bayaya adiksi (Ganiswarna,1995).
Yang termasuk golongan obat opioid ialah (1) obat yang berasal dari opium-morfin; (2) senyawa semisintetik morfin; (3) senyawa sintetik yang berefek seperti morfin. Obat yang mengantagonis efek opioid disebut antagonis opioid. Reseptor tempat terikatnya opioid di sel otak disebut reseptor opioid (Ganiswarna,1995).
Dahulu digunakan istilah analgesik narkotik untuk analgesik kuat yang mirip morfin. Istilah ini berasal dari kata narkosis bahasa Yunani yang berarti stupor. Istilah narkotik telah lama ditinggalkan jauh sebelum ditemukannya ligand yang mirip opioid endogen dan reseptor untuk zat ini. Dengan ditemukannya obat yang bersifat campuran agonis dan antagonis opioid yang tidak meniadakan ketergantungan fisik akibat morfin maka penggunaan istilah analgesik narkotik untuk pengertian farmakologik tidak sesuai lagi (Ganiswarna,1995).
Peptida opioid endogen telah diidentifikasi 3 jenis peptida yang terdapat dalam otak dan jaringan lain yang terikat pada reseptor opioid, yakni enkefalin, endorfin, dan dinorfin. Peptida opioid endogen tersebut diperkirakan berperan pada transmisi saraf, meskipun mekanisme kerja sebagai analgesik belum jelas diketahui. Tiap jenis berasal dari prekursor polipeptida yang berbeda secara genetik dan memperlihatkan distribusi anatomis yang khas (Ganiswarna,1995).
Prekursor ini disebut proenkefalin A, pro-opiomelanokortin (POMC) dan prodinorfin (proenkefalin B). Masing-masing prekursor mengandung sejumlah peptida yang aktif secara biologik, baik secara opioid maupun nonopioid yang telah dideteksi dalam darah dan berbagai jaringan. Reseptor opioid majemuk (multiple), konsep δanalgesia sudah diajukan sejak lama, akan tetapi baru sejak 1973 reseptor opioid diidentifikasi dan dapat ditentukan distribusi anatomisnya (Ganiswarna,1995).
Opioid berinteraksi dengan reseptor opioid untuk menimbulkan efeknya dan potensi analgesiknya tergantung pada afinitas terhadap reseptor opioid spesifik. Telah terbukti terdapat berbagai jenis reseptor opioid di SSP dan adanya berbagai jenis reseptor tersebut dapat menjelaskan adanya berbagai efek opioid. Reseptor µ (mu) diperkirakan memperantarai efek analgetik mirip morfin, euforia, depresi napas, miosis, berkurangnya motilitas saluran cerna. Reseptor (kappa) diduga memperantarai analgesia seperti yang ditimbulkan pentazosin, sedasi serta miosis dan depresi napas yang tidak sekuat agonis µ, reseptor δ (sigma) diperkirakan berhubungan dengan efek psikotomimetik yang ditimbulkan oleh pentazosin dan lain agonis-antagonis. Selain itu disusunan saraf pusat juga didapatkan reseptor delta yang selektif terhadap enkefalin dan reseptor ε (epsilon) yang sangat selektif terhadap beta-endorfin tetapi tidak mempunyai afinitas terhadap enkefalin. Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa reseptor delta memegang peranan dalam menimbulkan depresi pernapasan yang ditimbulkan opioid. Suatu opioid mungkin dapat berinteraksi dengan semua jenis reseptor akan tetapi dengan afinitas yang berbeda, dan dapat bekerja sebagai agonis, agonis parsial atau antagonis terhadap masing-masing reseptor (Ganiswarna,1995).
Nalokson sebagai antagonis opioid diketahui berikatan kuat dengan hampir semua reseptor kecuali beberapa jenis reseptor δ. Walaupun demikian, afinitas nalokson terhadap reseptor µ umumnya sepuluh kali lebih kuat dibandingkan dengan terhadap reseptor k atau δ (Ganiswarna,1995).
Atas dasar kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat yang tergolong opioid maka obat-obat yang tergolong opioid dibagi menjadi : 1. Agonis opioid menyerupai morfin, yaitu yang bekerja sebagai agonis terutama pada reseptor µ, dan mungkin pada reseptor k dan (contoh : morfin); 2. Antagonis opioid, yaitu yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua reseptor (contoh: nalokson); 3. Opioid dengan kerja campur : a. agonis-antagonis opioid, yaitu yang bekerja sebagai agonis pada beberapa reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor lain (contoh: nalorfin, pentazosin) dan b. agonis parsial (contoh : buprenorfin) (Ganiswarna, 1995).
WHO telah menyusun suatu program penggunaan analgetika untuk nyeri hebat (misalnya, pada kanker), yang menggolongkan obat dalam 3 kelas, yakni:
a. Non-opioid: NSAID’s, termasuk asetosal dan kodein.
b. Opioid lemah: d-propoksifen, tramadol, dan kodein, atau kombinasi parasetamol dengan kodein.
c. Opioid kuat: morfin dan derivat-derivatnya serta zat-zat sintetis opioid (Tan Hoan Tjay,2002).
Morfin dan opioida lainnya menimbulkan sejumlah besar efek samping yang tidak diinginkan, yaitu: Supresi SSP, misalnya sedasi, menekan pernapasan dan batuk, miosis, hypothermia, dan perubahan suasana jiwa (mood). Akibat stimulasi langsung dari CTZ (Chemo Trigger Zone) timbul mual dan muntah. Pada dosis lebih tinggi mengakibatkan menurunnya aktivitas mental dan motoris. Saluran cerna: motilitas berkurang (obstipasi), konstraksi sfingter kandung empedu (kolik batu-empedu). Saluran urogenital: retensi-urin (karena naiknya tonus dari sfingter kandung kemih), motilitas uterus berkurang (waktu persalinan diperpanjang). Saluran napas: bronchkonstriksi, pernapasan menjadi lebih dangkal dan frekuensinya turun. Sistem sirkulasi: vasodilatasi, hipertensi, dan bradycardia. Histamin-liberator: urticaria dan gatal-gatal, karena menstimulasi pelepasan histamin. Kebiasaan: dengan risiko adiksi pada penggunaan lama. Bila terapi dihentikan dapat terjadi gejala abstinensi (Tan Hoan Tjay,2002).
Kehamilan dan laktasi, opioida dapat melintasi plasenta, tetapi boleh digunakan sampai beberapa waktu sebelum persalinan. Bila diminum terus, zat ini dapat merusak janin akibat depresi pernapasan dan memperlambat persalinan. Bayi dari ibu yang ketagihan menderita gejala abstinensi. Selama laktasi, ibu dapat menggunakan opioida karena hanya sedikit terdapat dalam air susu ibu (Tan Hoan Tjay,2002).
Anatagonis Dan Analgesik Opioid
1) Agonis Kuat
a. Morfin : Morfin (MOR feen) merupakan obat analgesic utama yang mengandung opium kasar dan juga merupakan prototip agonis. Kodein (KOE deen) terdapat pada konsentrasi rendah dan potensinya kurang kuat. Obat-obat ini menunjukkan afinitas yang tinggi untuk reseptor µ, afinitas yang bervariasi untuk reseptor δ dan reseptor ^, dan afinitas yang rendah untuk reseptor σ. Mekanisme kerja: opioid memperlihatkan efek utamanya dengan berinteraksi dengan reseptor opioid pada SSP dan saluran cerna. Opioid menyebabkan hiperpolarisasi sel saraf, menghambat peletupan saraf, dan penghambatan presinaptik pelepasan transmitter. Morfin bekerja pada reseptor µ dalam lamina I dan lamina II dari substansia gelatinosa medula spinalis, dan menurunkan pelepasan substansi P, yang memodulasi persepsi nyeri dalam medula spinalis. Morfin juga menghambat pelepasan banyak transmiter eksitatori dari ujung saraf terminal yang membawa rangsangan nosiseptif (nyeri) (Mycek).
Farmakodinamik : Efek morfin pada susunan saraf pusat dan usus terutama ditimbulkan karena morfin bekerja sebagai agonis pada reseptor ν dan k (Ganiswarna,1995).
Analgesia: Morfin menyebabkan analgesia (menghilangkan nyeri tanpa hilangnya kesadaran). Opioid menghilangkan nyeri dengan meningkatkan ambang rasa nyeri pada tingkat medulla spinalis, dan yang lebih penting lagi, dengan mengubah persepsi otak terhadap nyeri. Penderita yang diobati dengan morfin tetap waspada terhadap adanya rasa nyeri, tetapi sensasinya menyenangkan. Efek analgesic maksimum dan potensi ketagihan dari obat-obat agonis. Euforia: Morfin menghasilkan rasa puas dan rasa sehat yang kuat. Euforia mungkin disebabkan oleh stimulasi tegmentum ventral. Pernapasan: Morfin menyebabkan depresi pernapasan dengan pengurangan sensitivitas neuron pusat pernapasan terhadap karbondioksida. Ini terjadi dengan dosis biasa morfin dan diperkuat jika dosis ditingkatkan sampai akhirnya pernapasan berhenti. Depresi pernapasan merupakan penyebab kematian yang paling sering pada keadaan takar lajak akut opioid. Penekanan refleks batuk: Morfin dan Kodein mempunyai efek antitusif. Umumnya, penekanan batuk tidak berhubungan erat dengan efek analgesik dan depresi pernapasan obat-obat opioid. Reseptor yang terlibat dalam kerja antitusif tampaknya berbeda dari yang terlibat pada analgesia. Miosis: “Pinpoint” pupil, ciri khas penggunaan morfin, adalah akibat dari rangsangan reseptor µ dan reseptor alfa. Morfin mengeksitasi nukleus Edinger-Westphal nervus okulomotorius, yang menyebabkan peningkatan stimulasi parasimpatetik pada mata. Ada sedikit toleransi terhadap efek ini, dan semuanya menambah timbulnya “pinpoint” pupil. Ini penting untuk menegakkan diagnosis, karena kebanyakan penyebab koma dan depresi pernapasan menghasilkan dilatasi pupil. Emesis: morfin merangsang secara langsung zona pencetus kemoreseptor pada daerah postrema yang menimbulkan muntah. Walaupun begitu, emesis tidak menimbulkan sensasi yang tidak menyenangkan. Saluran cerna: Morfin menghilangkan diare dan disentri. Morfin menurunkan motilitas otot polos dan meningkatkan tonus. Juga meningkatkan tekanan pada saluran bilier. Morfin juga meningkatkan tonus sfingter anus. Kesimpulan, morfin menyebabkan konstipasi, dengan sedikit perkembangan toleransi. Kardiovaskular: Morfin tidak mempunyai efek utama terhadap tekanan darah ataupun denyut jantung kecuali pada dosis besar, dapat terjadi hipotensi dan bradikardia. Karena depresi pernapasan dan retensi karbondioksida, pembuluh darah serebral berdilatasi dan meningkatkan tekanan cairan serebrospinalis (CSF). Karena itu, morfin biasanya merupakan kontraindikasi pada individu dengan jejas otak berat. Pelepasan histamin: Morfin melepaskan histamin dari sel mast, menyebabkan urtikaria, berkeringat, dan vasodilatasi. Karena dapat menyebabkan vasokonstriksi, penderita asma sebaiknya jangan diberikan obat ini. Kerja hormonal: Morfin menghambat pelepasan hormon pelepas gonadotropin dan hormon pelepas kortikotropin yang menurunkan konsentrasi hormon luteinisasi, hormon yang menstimulasi folikel, hormon adrenokortikotropik, dan β-endorfin. Kadar testosteron dan kortisol menurun. Morfin meningkatkan pelepasan prolaktin dan hormon pertumbuhan dengan mengurangi penghambatan dopaminergik. Morfin juga meningkatkan hormon antidiuretik (ADH), dank arena itu menyebabkan retensi urin (Mycek).
Farmakokinetik: Pemberian: absorbsi morfin dari saluran cerna lambat dan bervariasi, dan obat ini biasanya tidak diberikan per-oral. Sebaliknya, kodein diabsorbsi dengan baik jika diberikan peroral. Kemaknaan metabolism lintas pertama morfin terjadi dihati; karena itu, suntikan intramuskular, subkutan, atau intravena menghasilkan respons yang lebih nyata. Opiat umumnya digunakan untuk tujuan nonmedis dengan cara inhalasi atau mengisap dari opium mentah yang terbakar, yang menghasilkan mula kerja obat yang cepat. Distribusi: Morfin cepat memasuki semua jaringan tubuh, termasuk janin wanita hamil, dan seharusnya tidak diberikan untuk analgesia selama persalinan. Bayi yang lahir ibu yang mengalami adiksi menunjukkan ketergantungan fisik opial dan menunjukkan gejala putus obat jika tidak diberikan opioid. Hanya dalam persentase kecil morfin menembus sawar darah otak, karena morfin paling kurang lipofilik dari opioid pada umumnya. Ini berlawanan dengan opioid yang lebih larut dalam lemak, seperti fentanil dan heroin, yang mudah berpenetrasi ke dalam otak dan cepat menghasilkan serangan euforia yang berat. Nasib: Morfin dimetabolisme dalam hati menjadi glukoronida. Morfin-6-glukoronida merupakan analgesik yang sangat kuat, sedangkan konjugasi pada posisi-3 tidak aktif. Konjugal ini diekskresikan terutama kedalam urine, dengan sejumlah kecil ke dalam empedu. Masa kerja morfin 4-6 jam pada individu yang naïf (Mycek).
Efek samping: Terjadi depresi pernapasan yang berat. Efek samping lain adalah muntah, disforia, dan alergi yang meningkatkan efek hipotensi. Peningkatan tekanan intracranial, terutama pada jejas kepala, dapat menjadi serius. Morfin meningkatkan iskemia serebral dan spinal. Pada hipertrofi prostat, morfin dapat menyebabkan retensi akut urine. Efek serius adalah penghentian pertukaran pernapasan pada penderita emfisema atau kor-pulmonale. Jika diberikan pada individu seperti itu, pernapasan harus diperhatikan dengan seksama. Penderita dengan insufisiensi adrenal atau miksedema dapat memperberat dan meningkatkan efek opioid (Mycek).
Interaksi obat: Kerja depresan morfin ditingkatkan oleh fenotiazin, penghambat monoamine oksidase dan antidepresan trisiklik. Dosis rendah amfetamin meningkatkan efek analgesia secara aneh: hidroksizin juga maningkatkan analgesia (Mycek).
Indikasi: Terhadap nyeri: Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang diperlukan. Untunglah pada nyeri hebat depresi napas oleh morfin jarang terjadi, sebab nyeri merupakan antidotum faalan bagi efek depresi napas morfin. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai : 1) infark miokard; 2) neoplasma; 3) kolik renal atau kolik empedu; 4) oklusio akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner; 5) perikarditis akut, pleuritis dan pneumotoraks spontan; dan 6) nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pascabedah. Sebagai medikasi preanestetik, morfin sebaiknya hanya dimaksudkan untuk menimbulkan ketenangan atau tidur, lebih baik digunakan pentobarbital atau diazepam. Terhadap batuk dan sesak: Penghambatannya refleks batuk dapat dipertanggungjawabkan pada batuk yang tidak produktif dan hanya iritatif. Batuk demikian mengganggu tidur dan menyebabkan penderita tidak dapat beristirahat dan mungkin sekali disertai nyeri. Akan tetapi, dewasa ini penggunaan anlagesik opioid untuk mengatasi batuk telah banyak ditinggalkan karena telah banyak obat-obat sintetik lain yang efektif yang tidak menimbulkan adiksi. Sesak napas pada dekompensasio akut ventrikel kiri dan edema pulmonal hanya dapat dihilangkan dengan pemberian derivat opium. Efek antidiare: Alkaloid morfin berguna untuk menghentikan efek disebabkan oleh intoksikasi makanan atau intoksikasi akut obat, pemberian morfin harus didahului oleh pemberian garam katartik untuk mengeluarkan penyebab. Dosis alkaloid morfin yang menyebabkan sembelit dan menghambat refleks batuk kira-kira sama. Akan tetapi, dewasa ini telah tersedia senyawa-senyawa sintetik yang bekerja lebih selektif pada saluran cerna misalnya difenoksilat dan loperamid (Ganiswarna,1995).
Dosis : Dewasa oral 3-6 dd 10-20 mg garam-HCL, s.c / i.m 3-6 dd 5-20 mg. Anak-anak oral 2 dd 0,1-0,2 mg/kg (Tan Hoan Tjay,2002).
Bentuk sediaan :
-Pulv. Opii : 10% morfin
-Pulv. Doveri : 1% morfin + Rad. Ipecacuanhae + K2SO4.
-Acidov II : p. Doveri 150 mg + salamid 350 mg (Tan Hoan Tjay,2002).
Penggunaan klinik : Analgesia: Walaupun riset intensif, sedikit sekali dikembangkan obat-obat lain yang sama efektifnya pada pengobatan rasa sakit. Opioid menginduksi tidur, dan pada keadaan klinik yang terdapat rasa nyeri dan tidur diperlukan, opiat dapat digunakan sebagai pelengkap efek penginduksi tidur benzodiazepine, seperti flurazepam. Obat-obat sedatif-hipnotik biasanya tidak digunakan sebagai analgesik, dan dapat menurunkan efek sedatif pada adanya rasa nyeri. Pengobatan diare: Morfin menurunkan motilitas otot polos dan meningkatkan tonus. Menghilangkan batuk: Morfin menekan refleks batuk; tetapi, kodein dan dekstrometorfan lebih luas digunakan. Kodein mempunyai efek antitusif lebih besar daripada morfin (Mycek).
b. Meperidin: Meperidin adalah opioid sintetik dengan struktur yang tidak berhubungan dengan morfin. Digunakan untuk nyeri akut. Mekanisme kerja : Meperidin mengikat reseptor opioid, terutama reseptor alfa. Efek : Meperidin menyebabkan depresi pernapasan sama seperti morfin, tetapi tak ada efek yang bermakna terhadap kardiovaskular bila obat diberikan peroral. Pada pemberian intravena (IV), meperidin menghasilkan suatu penurunan resistensi perifer dan peningkatan aliran darah dan dapat menyebabkan peningkatan denyut jantung. Sama seperti morfin, meperidin menyebabkan pembuluh darah serebral dilatasi, meningkatkan tekanan cairan serebrospinal, dan kontraksi otot polos (yang belakangan ini kurang besar dibandingkan morfin). Pada saluran cerna. Meperidin menghambat motilitas, dan pada penggunaan kronis mengakibatkan konstipasi. Meperidin tidak menyebabkan pinpoint pupil, tetapi menyebabkan pupil dilatasi karena mempunyai aktivitas seperti atropin. Penggunaan terapi: Meperidin menimbulkan analgesia untuk semua tipe nyeri berat. Tidak seperti morfin, meperidin dalam klinik tidak berguna mengobati diare ataupun batuk. Meperidin kurang menyebabkan peningkatan retensi urine dibandingkan morfin. Farmakokinetik: Tidak seperti morfin, meperidin diabsorbsi dengan baik dari saluran cerna dan berguna diberikan peroral, bila diperlukan analgesik kuat. Tetapi, meperidin lebih sering diberikan secara intramuscular. Obat ini mempunyai masa kerja 2 sampai 4 jam, lebih singkat daripada morfin. Meperidin mengalami demetilasi N pada hati dan diekskresikan melalui urine. Karena kerjanya lebih singkat dan berbeda jalan metabolismenya, meperidin lebih disenangi untuk analgesia selama persalinan. Efek samping : Dosis besar meperidin menyebabkab tremor, kedutan otot, dan sangat jarang, konvulsi. Obat ini berbeda dengan opioid yang pada dosis besar menyebabkan dilatasi pupil dan menyebabkan refleks hiperaktif. Hipotensi yang berat dapat terjadi bila obat ini diberikan pasca operasi. Jika digunakan dengan neuroleptik mayor, terjadi peningkatan depresi yang hebat. Pemberian pada penderita yang mendapat obat penghambat monoamin oksidase dapat mencetuskan reaksi berat seperti konvulsi dan hipertermia. Meperidin dapat menimbulkan ketergantungan, dan dapat menggantikan morfin atau heroin pada mereka yang ketagihan dengan obat-obat tersebut. Dapat terjadi toleransi silang dengan opioid (Mycek).
Kontraindikasi : kontraindikasi penggunaan meperidin menyerupai kontraindikasi terhadap morfin dan opioid lain. Pada penderita penyakit hati dan orangtua dosis obat harus dikurangi karena terjadinya perubahan pada disposisi obat. Selain itu dosis meperidin perlu dikurangi bila diberikan bersama antipsikosis, hipnotik sedatif dan obat-obat lain penekan SSP. Pada penderita yang sedang mendapat MAO inhibitor pemberian meperidin dapat menimbulkan kegelisahan, gejala eksitasi dan demam. Indikasi : Analgesia: Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek daripada morfin. Misalnya untuk tindakan diagnostik seperti sistoskopi, pielografi retrograd, gastroskopi dan pneumoensefalografi. Pada bronkoskopi meperidin kurang cocok karena efek antitusifnya jauh lebih lemah daripada morfin. Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai obat preanestetik. Untuk menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin, meperidin kurang menyebabkan depresi napas pada janin. Tetapi sebagai medikasi preanestetik masih dipertanyakan perlunya suatu analgesik opioid pada penderita yang tidak menderita nyeri (Ganiswarna,1995).
Bentuk sediaan: Meperidin HCL tersedia dalam bentuk tablet 50 mg dan 100 mg, dan ampul 50 mg/ml. Meperidin lazim diberikan peroral atau IM. Pemberian meperidin IV menimbulkan reaksi lebih sering dan lebih berat. Pemberian meperidin subkutan menyebabkan iritasi lokal dan indurasi dan pemberian yang sering dapat menyebabkan fibrosis berat jaringan otot. Pemberian 50-100 mg meperidin parenteral dapat menghilangkan penderitaan sebagian besar pasien dengan nyeri sedang atau hebat. Efektifitas meperidin oral kurang, dan diperlukan dosis yang relatif lebih besar dari dosis parenteral (Ganiswarna,1995).
c.Metadon : Zat sintetis ini adalah suatu campuran rasemis, yang memiliki daya analgetis 2x lebih kuat daripada morfin dan berkhasiat anestetik lokal (Ganiswarna,1995).
Metadon adalah suatu opioid sintetik, efektif peroral yang hampir sama potensinya dengan morfin, tetapi kurang menyebabkan euforia dan mempunyai masa kerja yang lebih panjang (Mycek).
Mekanisme kerja : Metadon mempunyai kerja yang paling besar pada reseptor µ. Efek : aktivitas analgesik metadon ekuivalen dengan morfin. Metadon memperlihatkan efek analgesik kuat bila diberikan peroral, sebaliknya dengan morfin, yang hanya sebagian diabsorbsi dari saluran cerna. Efek miotik dan depresi pemapasan metadon mempunyai waktu paruh rata-rata 24 jam. Seperti morfin, metadon meningkatkan tekanan bilier, dan juga konstipasi. Penggunaan terapi: Metadon digunakan untuk mengontrol gejala putus obat pada penderita adiksi heroin dan morfin. Metadon menggantikan suntikan opioid dengan cara per-oral. Kemudian secara perlahan-lahan penderita dilepaskan dari metadon. Metadon menyebabkan sindrom putus obat yang lebih ringan, yang juga berkembang lebih lambat daripada yang terlihat pada sindrom putus obat dengan morfin. Farmakokinetik : Cepat diabsorbsi setelah pemberian peroral, metadon mempunyai masa kerja yang lebih panjang dari morfin. Obat ini terakumulasi dalam jaringan, dan sisanya terikat dengan protein yang kemudian dilepaskan secara lambat. Obat ini dibiotransformasi dalam hati dan diekskresikan kedalam urine, terutama sebagai metabolit tidak aktif. Efek samping : Metadon dapat menimbulkan ketergantungan sama seperti morfin. Sindrom putus obat lebih ringan tetapi lebih lama (berhari-hari sampai berminggu-minggu) daripada opiat (Mycek).
Dosis : Pada nyeri oral 4-6 dd 2,5-10 mg garam HCL, maksimum 150 mg/hari. Terapi pemeliharaan pecandu: permulaan 20-30 mg, setelah 3-4 jam 20 mg, lalu 1 dd 50-100 mg selama 6 bulan (Tan Hoan Tjay,2002).
Indikasi : Analgesia. Jenis nyeri yang dapat dipengaruhi metadon sama dengan jenis nyeri yang dapat dipengaruhi morfin. Dosis ekuianalgetik metadon kira-kira sama dengan morfin, tetapi ada yang berpendapat bahwa metadon sedikit lebih kuat daripada morfin. Antitusif. Metadon merupakan antitusif yang baik. Bentuk sediaan: Metadon dapat diberikan secara oral maupun suntikan, tetapi suntikan subkutan menimbulkan iritasi lokal. Metadon tersedia dalam bentuk tablet 5 dan 10 mg serta sediaan suntikan dalam ampul atau vial dengan kadar 10 mg/ml. Dosis analgetik metadon oral untuk dewasa berkisar antara 2,5-15 mg, tergantung dari hebatnya nyeri dan respons penderita, sedangkan dosis parenteral ialah 2,5-10 mg (Ganiswarna,1995).
d. Heroin : Heroin tidak terbentuk alamiah tetapi dihasilkan dari asetilasi morfin, yang menyebabkan peningkatan potensinya tiga kali lipat. Kelarutan dalam lipid yang sangat besar menyebabkan obat ini menembus sawar darah otak lebih cepat daripada morfin, menyebabkan euphoria yang berlebihan bila obat ini diberikan secara suntikan. Heroin dikonversi menjadi morfin di dalam tubuh, tetapi berlangsung kira-kira setengah lamanya. Di Amerika Serikat, penggunaan medis obat ini tidak diterima (Mycek).
e. Fentanil : Derivat-piperidin ini merupakan turunan dari petidin (Dolantin) yang jarang digunakan lagi karena efek samping dan sifat adiksinya. Efek analgetis agonis opiate ini 80 kali lebih kuat daripada morfin. Mulai kerjanya lebih cepat, yaitu dalam 2-3 menit (i.v), tetapi singkat, hanya ca 30 menit. Zat ini digunakan pada anestesi dan infark jantung. Efek samping: Mirip morfin, termasuk depresi pernapasan, bronchospasme, dan kekakuan otot (thorax). Zat ini jarang menimbulkan penghambatan sirkulasi, yakni penurunan cardiac output dan bradycardia. Dosis : Pada infark i.v. 0,05 mg + 2,5 mg droperidol (Thalamonal), bila perlu diulang setelah ½ jam. Plester (Durogesic) melepaskan secara konstan morfin selama 72 jam (Tan Hoan Tjay,2002).
f. Sufentanil : Adalah derivat dengan daya analgetis ca 10 kali lebih kuat. Sifat dan efek sampingnya sama dengan fentanil. Zat ini terutama digunakan pada waktu anestesi dan pasca-beda, juga pada waktu his dan persalinan (dikombinasi dengan suatu anestetikum). Dosis : Pada waktu his dan persalinan epidural 10 mcg bersama bupivakain, bila perlu diulang dua kali (Tan Hoan Tjay,2002).
2) Agonis Sedang
a. Propoksifen: Adalah derivat metadon. Dekstroisomer ini digunakan sebagai analgesik untuk menghilangkan nyeri ringan sampai sedang. Levo isomer bukanlah analgesik tetapi mempunyai efek antitusif. Propoksifen adalah analgesik yang lebih lemah dari kodein, memerlukan kira-kira dua kali dosis untuk mencapai efek analgesik yang ekuivalen dengan kodein. Propoksifen sering digunakan dalam kombinasi dengan aspirin atau dengan asetaminofen untuk memperoleh analgesik yang lebih besar daripada yang didapatnya sendiri. Mekanisme kerja: Diabsorbsi dengan baik bila diberikan peroral, dengan kadar puncak dalam plasma terjadi setelah 1 jam, dan dimetabolisme dalam hati. Efek samping: Propoksifen dapat menimbulkan mual, anoreksia, dan konstipasi. Pada dosis toksik, dapat menyebabkan depresi pernapasan, konvulsi, halusinasi, dan bingung. Jika diberikan dosis toksik, akan menimbulkan masalah yang sangat serius yang yang dapat meningkat pada beberapa penderita, dengan akibat kardiotoksisitas dan edema pulmonal. Jika digunakan bersama dengan alcohol dan sedative, timbul gejala depresi SSP yang berat dan dapat terjadi kematian yang disebabkan karena depresi pernapasan dan kardiotoksisitas. Depresi pernapasan dan sedasi dapat diantagonisasi oleh nalokson tetapi tidak untuk kardiotoksisitasnya (Mycek).
Farmakodinamik: Propoksifen berefek analgesik karena kerja sentralnya. Propoksifen terutama terikat pada reseptor v meskipun kurang selektif dibandingkan morfin. Propoksifen 65-100 mg secara oral memberikan efek yang sama kuat dengan 65 mg kodein, sedangkan 130 mg propoksifen parenteral menimbulkan analgesia yang sama kuat dengan 50 mg meperidin parenteral. Tetapi propoksifen menimbulkan perasaan panas dan iritasi di tempat suntikan. Seperti kodein kombinasi propoksifen dengan asetosal berefek analgesik yang jauh lebih baik daripada jika masing-masing obat diberikan tersendiri. Obat ini tidak berefek antitusif. Farmakokinetik: Propoksifen diabsorbsi setelah pemberian oral maupun parenteral. Seperti kodein, efektivitas jauh berkurang jika propoksifen diberikan per-oral. Biotransformasi propoksifen dengan cara N-demetilasi yang terjadi dalam hati. Indikasi : Propoksifen hanya digunakan untuk mengobati nyeri ringan hingga sedang, yang tidak cukup baik diredakan oleh asetosal. Kombinasi propoksifen bersama asetosal berefek sama kuat seperti kombinasi kodein bersama asetosal. Dosis propoksifen untuk orang dewasa biasanya 4 kali 65 mg sehari, dengan atau tanpa asetosal (Tan Hoan Tjay,2002).
b. Kodein : Kodein mempunyai analgesik yang kurang poten daripada morfin, tetapi mempunyai kemanjuran peroral yang lebih tinggi; kodein memperlihatkan efek antitusif yang baik pada dosis yang tidak menyebabkan analgesia. Obat ini mempunyai potensi penyalahgunaan yang lebih rendah daripada morfin dan sangat jarang menimbulkan ketergantungan. Kodein sering digunakan dalam kombinasi dengan aspirin atau asetaminofen (Mycek).
Efek samping: dan risiko adiksinya lebih ringan, sehingga sering digunakan sebagai obat batuk dan obat antinyeri, yang diperkuat melalui kombinasi dengan parasetamol/asetosal. Obstipasi dan mual dapat terjadi terutama pada dosis lebih tinggi (diatas 3 dd 20 mg). resorpsi oral dan rektal baik, di dalam hati, zat ini diubah menjadi norkodein dan morfin (10%). Ekskresinya lewat kemih sebagai glukuronida dan 10% secara utuh. Plasma t½-nya 3-4 jam. Dosis: Pada nyeri oral 3-6 dd 15-60 mg garam HCL, anak-anak diatas 1 tahun 3-6 dd 0,5 mg/kg. Pada batuk 4-6 dd 10-20 mg, maksimum 120 mg/hari, anak-anak 4-6 dd 1 mg/kg (Tan Hoan Tjay,2002).
3) Antagonis-Agonis Campuran
a. Buprenorfin: Walaupun buprenorfin diklasifikasikan sebagai agonis parsial yang bekerja pada reseptor µ, obat ini berlaku seperti morfin pada penderita yang naïf. Walaupun begitu, obat ini dapat juga mengantagonis morfin. Buprenorfin diberikan secara parenteral dan mempunyai masa kerja panjang karena terikat kuat pada reseptor. Dimetabolisme oleh hati dan diekskresikan kedalam empedu dan urine. Efek samping berupa depresi pernapasan, penurunan (atau, sangat jarang, peningkatan) tekanan darah, mula, dan pusing (Mycek).
b. Pentazosin: Zat sintetis ini diturunkan dari morfin, dimana cincin fenantren diganti oleh naftalen. Gugus-N-allil memberikan efek antagonis terhadap opioida lainnya. Khasiatnya beragam, yakni disamping antagonis lemah, juga merupakan agonis parsiil. Khasiat analgetisnya sedang sampai kuat, lebih kurang antara kodein dan petidin (3-6 x lebih lemah daripada morfin). Resorpsinya di usus baik, tetapi BA hanya ca 20% akibat FPE besar. Mulai kerjanya cepat, setelah 15-30 menit dan bertahan minimal 3 jam. Efek rektalnya sama dengan penggunaan oral. PP-nya 60%, plasma t½-nya 2-3 jam. Dalam hati, zat ini diubah menjadi metabolit yang diekskresi terutama lewat kemih. Dosis : Pada nyeri sedang-kuat 3-4 dd 50-100 mg, maksimum 600 mg sehari (Tan Hoan Tjay,2002).
4) Antagonis
a. Nalokson : Antagonis morfin ini memiliki rumus morfin dengan gugus-alil pada atom-N. Zat ini dapat meniadakan semua khasiat morfin dan opioida lainnya, terutama depresi pernapasan tanpa mengurangi efek analgetisnya. Penekanan pernapasan dari obat-obat depresi SSP lain (barbital, siklopropan, eter) tidak ditiadakan, tetapi juga tidak diperkuat seperti nalorfin. Penggunaannya sebagai antidotum pada overdose opioida (dan barbital), pascaoperasif untuk mengatasi depresi pernapasan oleh opioida. Atau, secara diagnostis untuk menentukan adiksi sebelum dimulai dengan penggunaan naltrexon. Kinetik : Setelah injeksi i.v sudah berefek setelah 2 menit, yang bertahan 1-4 jam. Plasma t½-nya hanya 45-90 menit, lama kerjanya lebih singkat dari opioida, maka lazimnya perlu diulang beberapa kali. Efek samping : Dapat berupa tachycardia (setelah bedah jantung), jarang reaksi alergi dengan shock dan udema paru-paru. Pada penangkalan efek opioida terlalu pesat dapat terjadi mual, muntah, berkeringat, pusing-pusing, hipertensi, tremor, serangan epilepsi, dan berhentinya jantung. Dosis : Pada overdose opioida, intravena permula 0,4 mg, bila perlu diulang setiap 2-3 menit (Tan Hoan Tjay,2002).
b. Naltrekson: Adalah derivat nalokson, dimana gugus-alil diganti dengan siklopropil. Sifatnya antagonis murni yang tidak mengakibatkan toleransi atau ketergantungan fisik dan psikis. Dalam hati, zat ini diubah menjadi antaralain metabolit aktif 6β-naltreksol yang terutama diekskresi melalui kemih. Naltrekson mengalami siklus enterohepatis, masa-paruhnya 4-12 jam. Penggunaannya terutama untuk menghambat efek-efek opioida berdasarkan pengikatan kompetitif pada reseptor opoid dan sebagai obat anti-ketagihan heroin. Pada pecandu opiat menimbulkan gejala abstinensi hebat dalam waktu 5 menit, yang dapat bertahan 48 jam. Obat ini hanya boleh diberikan setelah penghentian heroin/morfin atau metadon sekurang-kurangnya masing-masing 7 dan 10 hari. Dosis : Permulaan 25 mg, bila tidak terjadi efek abstinensi setelah 1 jam diulang dengan 25 mg. lalu 50 mg sehari selama 3 bulan atau lebih lama (Tan Hoan Tjay,2002).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim,2006.Informasi Spesialite Obat Indonesia.PT. Anem Kosong.Jakarta.
Ganiswarna,1995,Farmakologi dan Terapi Edisi 4.Gaya baru,Jakarta.
Tjay,2002.Obat-Obat Penting.PT.Gramedia,Jakarta.
Mycek, Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2.Widya Medika,Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar