Sabtu, 25 Desember 2010

AINS

Antiinflamasi nonsteroid (AINS) yang secara spesifik mempunyai sejarah panjang dan banyak menimbulkan kontroversi, pada akhir 2004 lalu ditarik dari peredaran karena ditemukan efek samping yang selama ini tersembunyi, yaitu pembentukan tukak dan pendarahan saluran cerna serta serangan jantung mendadak. Memang, selama ini dalam praktiknya dokter selalu meresepkan AINS dalam pengobatan nyeri inflamasi mulai dari tingkat ringan sampai sedang. Karena itu, para dokter diingatkan agar tidak sembarangan menuliskan resep obat antiinflamasi atau pereda rasa nyeri bagi pasien.
Jenis Obat anti-inflamasi nonstreoid (OAINS) merupakan kelompok obat yang paling banyak dikonsumsi di seluruh dunia untuk mendapatkan efek analgetika, antipiretika, dan anti-inflamasi. OAINS merupakan pengobatan dasar untuk mengatasi peradangan-peradangan di dalam dan sekitar sendi seperti lumbago, artralgia, osteoartritis, artritis reumatoid, dan gout artritis. Disamping itu, OAINS juga banyak pada penyakit-penyakit non-rematik, seperti kolik empedu dan saluran kemih, trombosis serebri, infark miokardium, dan dismenorea.
Salah satu obat yang memiliki resiko tinggi dapat berinteraksi dengan obat lain adalah obat golongan anti inflamasi non- steroid (OAINS), saat ini Obat anti inflamasi Non- Steroid (OAINS) dapat diperoleh tidak hanya melalui resep dokter, tetapi dapat pula dengan mudah diperoleh melalui penjualan bebas (over the counter drugs). di seluruh dunia, diperkirakan lebih dari 100 juta resep berisi OAINS ditulis setiap hari dan telah menghabiskan lebih dari 2 milyar Dolar Amerika setiap tahunnya, tidak termasuk yang dikeluarkan melalui jalur pembelian obat secara bebas        
Obat analgesik antipiretik serta obat antiinflamasi nonsteroid (AINS) merupakan suatu kelompok obat yang heterogen,bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimia. Walaupun demikian obat-obat ini ternyata memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun efeksamping.Prototip obat golongan ini adalah aspirin, karena itu obat golongan ini sering disebut juga sebagai obat mirip aspirin .
Pada manusia, berbagai macam penyebab rasa sakit dapat terjadi karena beberapa hal, misalnya adanya pembengkakan pada bagian tubuh manusia yang diakibatkan karena terkena tumbukan benda keras, sehingga badan menjadi merah dan menyebabkan bengkak, atau pada memar  akibat cedera pada saat olahraga.
Dengan menggunakan obat – obat anti- inflamasi  dapat secara efektif mencegah pembengkakan bila diminum sedini mungkin dalam dosis yang cukup tinggi.
Kemajuan penelitian dalam dasawarsa terakhir ini memberi penjelasan mengapa kelompok heterogen tersebut memiliki kesamaan efek terapi dan efek samping. Ternyata sebagian besar efek terapi dan efek sampingnya berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG). obat-obat ini sebagian besar tergantung dari penghambatan biosintesis PG dan mekanisme kerja yang berhubungan dengan sistem biosintesis PG ini mulai dilaporkan pada tahun 1971 oleh Vane dan kawan-kawan yang memperlihatkan secara in vitro bahwa dosis rendah aspirin dan indometsin menghambat produksi enzimatik PG. penelitian lanjutan telah membuktikan bahwa PG akan dilepaskan bilamana sel mengalami kerusakan. Walaupun in vitro obat AINS diketahui menghambat berbagai reaksi biokimiawi, hubungan dengan efek analgesik,antipiretik dan anti inflamasinya belum jelas. Selain itu obat AINS secara umum tidak menghambat biosintesis leukotrien,yanmg diketahui ikut berperan dala inflamasi.

Inflamasi merupakan suatu respons protektif normal terhadap luka jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat- zat mikrobiologik. Inflamasi ialah usaha tubuh untuk menginaktivasi atau merusak organisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat perbaikan jaringan. Jika penyembuhan lengkap, proses peradangan biasanya reda. Namun, kadang- kadang inflamasi tidak bisa dicetuskan oleh suatu zat yang tidak berbahaya seperti tepung sari, atau suatu respon imun, seperti asma atau artritis rematoid. Pada kasus seperti ini, reaksi pertahanan mereka sendiri mungkin menyebabkan luka jaringan progresi, dan obat- obat anti inflamasi atau imunosupresi mungkin diperlukan untuk memodulasi proses peradangan. Inflamasi dicetuskan oleh pelepasan mediator kimiawi dari jaringan yang rusak dan migrasi sel. Mediator kimiawi spesifik bervariasi dengan tipe proses peradangan dan meliputi amin, seperti histamin dan 5- hidroksitriptamin; lipid,  seperti prostaglandin; peptida kecil, seperti bradikinin; dan peptida besar, seperti interleukin-1. penemuan variasi yang luas diantara mediator kimiawi telah menerangkan paradoks yang tampak bahwa obat- obat anti inflamasi dapat mempengaruhi kerja mediator utama yang penting pada satu tipe inflamasi tetapi tanpa efek pada proses inflamasi yang tidak melibatkan mediator target obat (Mycek, 2001).
Inflamasi (radang) biasanya dibagi atas 3 fase : inflamasi akut, respon imun, dan inflamasi kronis.. inflamasi akut merupakan respon awal terhadap cedera jaringan ; hal tersebut terjadi melalui media rilisnya autacoid yang terlibat . respon imin terjadi bila sejumlah sel yang mampu menimbulkan kekebalan diaktifkan untuk  meresp[on organism easing atau substansi antigenetik yang terlepas selama respon terhadap inflamasi akut serta kronis. Akibat dari respon imun bagi tuan rumah mungkin menguntungkan, seperti bilamana ia menyebabkan organisme penyerang menjadi di-fagositosis atau dinetralisir. Sebaliknya akibat tersebut juga dapat merusak bilamana menjurus pada inflamasi kronis tanpa penguraian dari proses cedar yang mendasarinya . salah satu dari kondisi yang paling penting yang melibatkan mediator-mediator ini adalah artitir reunatoid, dimana inflamasi kronis menyebabkan sakit dan kerusakan pada tulang dan tulang rawan yang bias menjurus kepada ketidakmampuan untuk bergerak dimana terjadi perubahan-perubahan sistemik  yang bias memperpendek umur ( Katzung,1998).
Sampai sekarang fenomena inflamasi pada tingkat bioseluler masih belum dapat dijelaskan secara rinci. Walaupun demikian banyak hal yang telah diketahui dan disepakati. Fenomena inflamasi ini meliputi kerusakan mikrovaskular, meningkatkan permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit kejaringan radang. Gejala proses inflamasi yang sudah dikenal ialah kalor, rubor, tumor, dolor dan function laesa. Selama berlangsungnya fenomena inflamasi banyak mediator kimiawi yang dilepaskan secara local antara lain histamine, 5 – hidroksitriptamin (5 HT), factor kemotaktik, bradikinin, leukotrien dan PG (Prostaglandin). Penelitian lain menunjukkan autakoid lipid  PAF (platelet- activating factor) juga merupakan mediator inflamasi. Dengan migrasi sel fagosit kedaerah ini, terjadi lisis membrane lisozim dan lepasnya enzim pemecah. Obat mirip aspirin dapat dikatakan tidak berefek terhadap mediator- mediator kimia tersebut kecuali PG ( Mardjono, 2005 ).
Pengobatan pasien dengan inflamasi mempunyai 2 tujuan utama; pertama meringankan rasa nyeri yang sering sekali merupakan gejala awal yang terlihat dengan keluhan utama terus menerus dari pasien; dan kedua memperlambat atau (dalam teori) membatasi proses pengrusakan jaringan. Pengurangan inflamasi dengan obat-obat antiinflamasi nonsteroid (AINS ; nonsteroid anti-inflamatory drugs=NSAIDs ) seringkali berakibat meredanya nyeri selama riode yang bermakna. Lebih jauh lagi sebagian besar dari nonopioid analgesic (aspirin,dll) juga mempunyai efek anti inflamasi jadi mereka tepat digunakan untuk pengobatan inflamasi akut maupun kronis (Katzung, 1998).
Efikasi kortikosteroid (corticosteroid) topical terbukti luar biasa pada pengobatan dermatosis inflamasi setelah dikenalkan hydrocortisone pada tahun 1952. setelah itu perkembangan sejumlah besar analog menawarkan potensi pilihan, konsentrasi serta vehikulum yang ekstensif. Efektivitas terapeutik dari kortikosteroid topical pada dasarnya tergantung pada aktifitas anti inflamasi-nya . penjelasan definitive mengenai efek-efek kortikosteroid pada mediator-mediator inflamasi endogen, seperti histamine, kinin, enzim-enzim lisosom, prostaglandin lebih lanjut. Efek-efek kortikosteroid antimitotik pada epidermis manusia menyebabkan timbulnya mekanisme kerja tambahan pada psorias pada penyakit kulit lainnya yang dihubungkan dengan meningkatnya pergantian sel (Katzung,  2000).
          Prostaglandin adalah keluarga metabolit- metabolit asam arakidonat yang poten, yang mengatur beberapa komponen peradangan, suhu tubuh, penghantaran nyeri, agregasi trombosit, dan banayak kerja lain. Prostaglandin tidak disimpan oleh sel, tetapi disintesis dan dilepaskan sesuai kebutuhan. Prostaglandin cepat didegradasi, sehinggqa waktu aruhnya berada dalam kisaran detik sampai menit (Olson, 1995).
“Hormon Jaringan“ ini ( prostaglandin ) memiliki rumus asam- lemak tak jenuh yang dihidroksilasi. Semula diduga sintesanya hanya dalam prostate, sehingga diberi namanya. Akan tetapi, kemudian ternyata senyawa ini dapat dibentuk local diseluruh tubuh, misalnya di dinding lambung, dan pembuluh, trombosit, ginjal, rahim, dan paru- paru. Obat ini memiliki sejumlah efek fisiologi dan farmakologi luas, antara lain terhadap otot polos (dinding pembuluh, rahim, bronchi, dan lambung- usus), agregasi trombosit, produksi hormon, lipolysis di depot lemak, dan SSP (Tjay dan Raharja, 2002 ).
A.   Peran prostaglandin sebagai mediator lokal 
Prostaglandin dan senyawa- senyawa yang berkaitan diproduksi dalam jumlah kecil oleh semua jaringan. Umumnya bekerja lokal pada jaringan tempat prostaglandin tersebut disintesis, dan cepat dimetabolisme menjadi produk inaktif pada tempat kerjanya. Karena itu, prostaglandin tidak bersirkulasi dalam konsentrasi bermakna dalam darah. Tromboksan, leukotrien, dan asam hidroperoksieikosatetraenoat (HPETEs dan HETEs) merupakan lipid yang berkaitan, disintsis dari prekursor yang sama sebagai prostaglandin, memakai jalan yang berhubungan (Mycek, 2001).
B.   Sintesis prostaglandin
Sintesanya. Bila membrane sel mengalami kerusakan oleh rangsangan kimiawi, fisik, atau mekanis, maka enzim fosfolipase diaktifkan untuk mengubah fosfoliida yang terdapat  disitu menjadi asam arachidonat. Sam lemak pili-tak-jenuh ini (C20, delta 5,8, 11, 14) kemudian untuk sebagian diubah oleh enzim cyclo-oksigenase menjadi asam endoperoksida dan seterusnya menjadi zat-zat prostaglandin. Bagian lain dari arachidonat diubah oleh enzim lipooxygenase menjadi zat-zat leukotrien (nama lama SRSA = slow Reacting Substances of Anaphylaxis). Baik prostaglandin maupun leukotrien bertanggung jawab bagi sebagian besar gejala peradangan. Peroksida melepaskan radikal bebas oksigen yang juga berperan pada timbulnya rasa neyeri  (Tjay dan Raharja, 2002).
            Asam arakidonat, suatu asam lemak 20- karbon, adalah prekursor utama prostaglandin dan senyaw yang berkaitan. Aam arakidonat tedapat dalam komponen posfolipid oleh jaringan posfolifase A2 dan asil hidrolase lainnya, melalui suatu proses yang dikomtrol oleh hormon dan rangsangan lain. Ada dua jalan utama sintesis eikosanid dari asam arakidonat :    (Mycek, 2001).
1.    Jalan siklooksigenase : semua eikosanoid berstruktur cincn sehingga prostaglandin, tromboksan dan prostasiklin, disintesis melalui jalan siklooksigenase. Telah diteliti 2 siklooksigenase COX-1 dan COX-2. yang pertama bersifat ada dimana- mana dan pembentuk, sedangkan yang kedua diinduksi dalam respons terhadap rangsangan inflamasi.
2.    Jalan lipoksigenase : jalan lain,. Beberapa lipoksigenase dapat bekerja pada asam arakidonat untuk membentuk 5-HPETE, 12-HPETE, yang merupakan turunan peroksida tidak stabil yang dikonversi menjadi turunan hidroksilasi yang sesuai (HETES) atau menjadi leukotrien atau lipoksin,tergantung pada jaringan.






Trauma/ luka pada sel
 Gangguan pada membran sel
      Fospolipid
Dihambat kortikosteroid                                              enzim posfolipase
     Asam arakidonat
 

     Enzim lipoksigenase                                             enzim siklooksigenase
         Hidroperoksid                                                             endiperoksid
                                                                      PGG2/ PGH
                                  
                                 PGE2,PGF2,PGD2             Tromboxan2        Prostasiklin
    Leukotrien        
Biosintesis prostaglandin ( Ganiswarna, 1995)
C.   Efek prostaglandin
Kebanyakan efek prostaglandin diperantarai oleh ikatannya yang luas pada berbagai reseptor membran yang berbeda yang beroperasi melalui protein G, yang kemudian mngaktivasi atau menghambat adenilil siklase atau merangsang fospolipase C. Hal ini menyebabkan pembentukan diasilgliserol dan inositol-1,4,5- triposfat(IP3). PGF, leukotrien dan tromboksan A2 (TXA2) memperantai efek- efek tertentu dengan jalan mengaktivas metqabolisme fospatidilinositol dan menyebabkan peningkatan Ca++ intraseluler (Mycek, 2001).
D.   Fungsinya dalam tubuh
Prostaglandin dan metabolitnya yang dihasilkan secara endogen dalam jaringan bekerja sebagai tanda lokal yang menyesuaikan respons tipe sel sel spesifik. Fungsi dalam tubuh bervariasi secara luas tergantung pada jaringan. Misalnya pelepasan (TXA2) dari trombosit mencetuskan penambahan trombosit baru untuk agregasi (langkah pertama dalam pembentukan gumpalan). Namun, pada jaringan lain, peningkatan kadar (TXA2) membawa tanda yang berbeda. Misalnya, pada otot polos tetentu, senyawa ini menginduksi kontraksi. Prostaglandin merupakan salah satu mediator kimiawi yang dilepaskan pada proses alergi dan inflamasi (Mycek, 2001).
Radang terjadi  terhadap pengaruh-pengaruh yang merusak atau noksi dari berbagai jenis, jaringan ikat pembuluh bereaksi dengan cara yang sama pada tempat kerusakan dengan menyebabkan suatu radang . noksi dapat berupa noksi kimia, noksi fisika, infeksi mikroorganisme atau parasit. Sebagai gejala reaksi meradang dapat diamati : (Mutscler, 1991)

  • pemerahan (Rubor)
  • pembengkakan(Tumor)
  • Panas meningkat (calor)
  • Nyeri (Dolor), dan
  • Gangguan fungsi (Function laesa)
Gejala-gejala ini merupakan akibat gangguan aliran darah yang terjadi kerusakan jaringan dalam pembuluh darah alir terminal, gangguan keluarnya pendarahan (eksudasi) ke dalam ruang eksudat akibat meningkatnya ketelapan kapiler perangsang reseptor nyeri. Reaksi disebabkan oleh pembebasan bahan mediator (histamine, serotonin, prostaglandin, dan kinin) (Mutscler, 1991).
Radang dapat dihentikan dengan meniadakan (misalnya dengan transport toksin atau dengan menghentikan kerja yang rusak. Walaupun demikian, seringkali gangguan aliran darah regional dan oksidasi terjadi emigrasi sel-sel  darah (mengranolosit, makrofag) kedalam ruang intrasel serta poliferasi histiosit dan blas. Proses-proses ini juga berfungsi pada perlawanan terhadap kerusakan pemulihan kondisi asalnya, meskipun demikian juga dapat bekerja negative (Mutscler, 1991).
Nyeri adalah suatu presepsi yang merupakan mekanisme proteksi tubuh yang bertujuan untuk memberikan peringatan (alerting) akan adanya penyakit, luka, atau kerusakan jaringan sehingga dapat segera diidentifikasi penyebabnya dan dilakukan pengobata ( Suyono, 2001).
NYERI. Prostaglandin hanya berperan pada nyeri yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau inflamasi. Penelitian telah membuktikan bahwa PG menyebabkan sensitisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi. Jadi PG menimbulkan keadaan hiperalgesia, kemudian mediator kimiawi seperti bradikinin dan histamin merangsangnyadan menimbulkan nyeri yang nyata (Freddy, 1995).
DEMAM. Suhu badan diatur oleh keseimbangan antara produksi dan hilangnya panas. Alat pengatur suhu tubuh berada di hipotalamus. Pada keadaan demam keseimbangan ini terganggu tetapi dapat dikembalikan normal oleh obat mirip aspirin. Ada bukti bahwa peningkatan suhu tubuh pada keadaan patologik diawali penglepasan suatu zat pirogen endogen atau sitokin seperti interleukin-1 (IL – 1) yang memacu penglepasan PG yang berlebihan didaerah preoptik hipotalamus. Selain itu PGE2 terbukti menimbulkan demam setelah diinfuskan ke ventrikel serebral atau disuntikkan ke daerah hipotalamus. Obat mirip aspirin menekan efek zat pirogen endogen yang menghambat sistesis PG,tetapui demam yang timbul akibat pemberian PG tidak dipengaruhi,demikian pula peningkatan suhu oleh sebab lain seperti latihan fisik (Freddy, 1995).
Obat analgetik antipiretik serta obat-obat anti-inflamasi lainnya (AINS) merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimia. Walaupun demikian obat-obat ini ternyata memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek sampingnya. Prototip obat golongan ini adalah aspirin, karena itu obat ini juga sebagai obat mirip aspirin (aspirin-like drugs). (Freddy, 1995 ).
            Obat Anti Inflamasi Non Steroid selain memiliki efek terapi yang sama juga memiliki efek samping yang serupa. Selain itu, kebanyakan obat ini bersifat asam sehingga lebih banyak terkumpul dalam sel yang bersifat asam seperti lambung, ginjal, dan jaringan inflamasi. Jelas bahwa efek obat maupun efek sampingnya akan lebih nyata di tempat kadar yang lebih tinggi  (Freddy, 1995).
OBAT- OBAT ANTI- INFLAMASI



AINS             ANALGETIK                       OBAT                OBAT- OBAT
                  NON NARKOTIK           UNTUK ARTRITIS  UNTUK GOUT

Aspirin           Asetaminofen                Klorokuin                  Alopurinol
Diflunisal       Fenasetin                       garam emas             Metotreksat
Diklofenak                                              Metotreksat                 Probenasi             Etodolak                                                 D- Penisilamin          Sulfinpirazon
Fenamat
Fenoprofen
Flurbiprofen
Ibuprofen
Indometasin
Ketoprofen
Metilsalisilat
Nabumeton
Naproksin
Oksaprozin
Fenilbutazon
Piroksikam
Sulindak
Tolmetin
                    Gambar : Ringkasan Obat- obat Antiinflamasi

( Mycek, 1999 )
 
A.  Penggolongan AINS
 













OAINS merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimia. Walaupun demikian, obat-obat ini mempunyai banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek samping.15 Prototip obat golongan ini adalah aspirin, karena itu OAINS sering juga disebut sebagai obat-obat mirip aspirin (aspirin-like drug). Aspirin-like drugs dibagi dalam lima golongan, yaitu:  (Goodman & Gilman, 2001)
1.    Salisilat dan salisilamid, derivatnya yaitu asetosal (aspirin), salisilamid, diflunisal
a. Salisilat  (Freddy,1995)
Asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin adalah analgesik antipiretik dan antiinflamasi yang sangat luas digunakan dan digolongkan dalam obat bebas. Selain sebagai prototip, obat ini merupakan standar dalam menilai efek obat sejenis.
Kimia. Asam salisilat ini sangat iritatif, sehingga hanya digunakan sebagai obat luar. Derivatnya yang dapat dipakai secara sistemik adalah ester salisilat dari asam organik dengan sustitusi pada gugus hidroksil, misalnya asetosal.
Farmakodinamik. salisilat merupakan obat yang paling banyak digunakan sebagai analgesik, antipiretik, dan anti-inflamasi. Aspirin dosis terapi bekerja cepat dan efektif sebagai antipiretik. Dengan dosis ini laju metabolisme juga meningkat. Pada dosis toksik obat ini justru memperlihatkan efek piretik sehingga terjadi demam dan hiperhidrosis pada keracunan berat.
Farmakokinetik. Pada pemberian oral, sebagian salisilat diabsorpsi dengan cepat dalam bentuk utuh di lambung, tetapi sebagian besar di usus halus bagian atas. Kadar tertinggi dicapai kira- kira 2 jam setelah pemberian.
Efek terhadap pernafasan. Efek salisilat pada pernafasan tercermin dari terganggunya keseimbangan asam basa dalam darah. Salisilat merangsang pernafasan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada dosis terapi salisilat mempertinggi konsumsi O2 dan produksi CO2.. peninggian PCO2 akan merangsang pernafasan sehingga pengeluaran CO2 melalui alveoli bertanbah dan PCO2 dalam plasma darah turun.
Efek terhadap keseimbangan asam basa. Dalam dosis terapi yang tinggi, salisilat mempertinggi konsumsi O2 dan produksi CO2 terutama di otot skelet.
Efek urikosurik. Efek ini sangat ditentukan oleh besarnya dosis. Dosis kecil ( 1g atau 2g sehari) menghambat eksresi asam urat, sehingga kadarnya meningkat. Dosis 2g ataau 3g sehari biasanya tidak mengubah eksresi asam urat. Pada dosis lebih dari 5 g/hari terjadi peningkatan eksresi asam urat melalu urin, sehingga kadar asam urat dalam darah menurun. Hal ini terjadi karena pada dosis rendah salisilat menghabat sekresi tubuli sedangkan pada dosis tinggi juga menghambat reabsorbsi dengan hasil akhir peningkatan ekskresi asam urat. Efek urikosurik ini bertambah bila urin bersifat basa.
Efek terhadap darah. Pada orang yang sehat, aspirin menyebabkan perpanjangan masa pendarahan.
Efek terhadap hati dan ginjal. Salisilat bersifat hepatotoksik dan ini berkaitan dengan dosis, bukan akibat reaksi imun. Gejala yang sering terlihat hanya kenaikan  SGOT dan SGPT. Salislat juga menurunkan fungsi ginjal pada penderita dengan hipovolemia atau gagal jantung.
Efek terhadap saluran cerna. Perdarahan lambung yang berat dapat terjadi pada dosis besar dan pemberian kronik.  
  b.Salisilamid (Freddy,1995)
            adalah amida asam salisilat yang memperlihatkan efek analgetik dan antipiretik mirip asetosal, walaupun dalam badan salisilamid. Efekny lebih lemah dari salisilat, karena salisilamid dalam mukosa usus mengalami metabolisme lintas pertama, sehingga hanya sebagian salisilamid yang diberikan masuk sirkulasi sebagai zat aktif. Obat ini mudah diabsorpsi usus dan cepat didistribusi ke jaringan. Obat ini menghambat glukoronidase dan obat analgesik lain misalnya Na salisilat dan asetaminofen, sehinnga pemberian bersama dapat meningkatkan efek terapi toksisitas obat tersebut. Salisilamid dijual bebas dalam bentuk obat tunggal atau kombinasi tetap.  
2.    Para aminofenol, derivatnya yaitu asetaminofen dan fenasetin
Farmakodinamik. Efek analgesik parasetamol dan fenasetin serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek snetral seperti salisilat. Efek antiinflamasinya sangat lemah.
Farmakodinamik. Parasetamol dan fenasetin diabsorpsi dengan cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa paruh plasma dicapai 1-3 jam.
3.    Pirazolon, derivatnya yaitu antipirin (fenazon), aminopirin (amidopirin), fenilbutazon dan turunannya
4.    Antirematik nonsteroid dan analgetik lainnya, yaitu asam mefenamat dan meklofenamat, ketoprofen, ibuprofen, naproksen, indometasin, piroksikam, dan glafenin
5.    Obat pirai, dibagi menjadi dua, yaitu (1) obat yang menghentikan proses inflamasi akut, misalnya kolkisin, fenilbutazon, oksifenbutazon, dan (2) obat yang mempengaruhi kadar asam urat, misalnya probenesid, alupurinol, dan sulfinpirazon.
·         Sedangkan menurut waktu paruhnya, OAINS dibedakan menjadi: (Goodman & Gilman, 2001)
  1. AINS dengan waktu paruh pendek (3-5 jam), yaitu aspirin, asam flufenamat, asam meklofenamat, asam mefenamat, asam niflumat, asam tiaprofenamat, diklofenak, indometasin, karprofen, ibuprofen, dan ketoprofen.
  2. AINS dengan waktu paruh sedang (5-9 jam), yaitu fenbufen dan piroprofen.
  3. AINS dengan waktu paruh tengah (kira-kira 12 jam), yaitu diflunisal dan naproksen.
  4. AINS dengan waktu paruh panjang (24-45 jam), yaitu piroksikam dan tenoksikam.
  5. AINS dengan waktu paruh sangat panjang (lebih dari 60 jam), yaitu fenilbutazon dan oksifenbutazon.

·         Klasifikasi Kimiawi Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid
1.    Non Selective Cyclooxygenase Inhibitors (Goodman & Gilman, 2001)
·         Derivat asam salisilat: aspirin, natrium salisilat, salsalat, diflunisal, cholin magnesium trisalisilat, sulfasalazine, olsalazine
·         Derivat para-aminofenol: asetaminofen
·         Asam asetat indol dan inden: indometasin, sulindak
·         Asam heteroaryl asetat: tolmetin, diklofenak, ketorolak
·         Asam arylpropionat: ibuprofen, naproksen, flurbiprofen, ketoprofen, fenoprofen, oxaprozin
·         Asam antranilat (fenamat): asam mefenamat, asam meklofenamat
·         Asam enolat: oksikam (piroksikam, meloksikam)
·         Alkanon: nabumeton
2. Selective Cyclooxygenase II inhibitors (Goodman & Gilman, 2001)
·         Diaryl-subtiuted furanones: rofecoxib
·         Diaryl-subtituted pyrazoles: celecoxib
·         Asam asetat indol: etodolac
·         Sulfonanilid: nimesulid
Berdasarkan struktur kimianya obat anti radang bukan steroid dibagi menjadi tujuh kelompok, yaitu turunan salisilat, turunan 5-pirazolidindion, turunan asam N –arilantranilat, turunan asam arilasetat, turunan heteroarilasetat, turunan oksikam, dan turunan lain-lain (Siswandono, 2000).
Berbagai salicylate dan agen-agen lainnya yang mirip yang dipakai untuk mengobati penyakit reumatik sama-sama memiliki kemampuan untuk menekan tanda-tanda dan gejala-gejala inflamasi. Obat-obat ini mempunyai efek antipiretik dan analgesic, tetapi sifat-sifat anti inflamasi merekalah yang membuat mereka paling baik untuk menangani gangguan-gangguan dengan rasa sakit yang dihubungkan dengan intensitas proses inflamasi (Katzung,  1998).
B. Mekanisme Kerja
OAINS digunakan sebelum mekanisme kerjanya diketahui. Ada bukti- bukti yang cukup untuk menunjukkan bahwa :
Banyak obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS) bekerja dengan jalan menghambat sintesis prostaglandin. Jadi, pemahaman akan obat AINS memerlukan pengertian kerja dan biosintesis prostaglandin- turunan asam lemak tak jenuh mengandung 20 karbon yang meliputi struktur cincin siklik (Mycek, 2001).
Obat- obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) umumnya bekerja dengan jalan menghambat enzim siklooksigenase yang bertanggung jawab dalam pembentukan prostaglandin (PG) (Freddy, 1995).

C.  Efek Farmakodinamik
EFEK ANALGESIK. Sebagai analgesik,obat mirip aspirin hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas rendah sampai sedang misalnya sakit kepala,mialgia,artralgia dan nyeri lain yang berasal dari integumen,juga efektif terhadap nyeri yang berkaitan dengan inflamasi. Efek analgesiknya jauh lebih lemah daripada efek analgesik opiat. Tetapi berbeda dengan opiat,obat mirip aspirin tidak menimbulkan ketagihan dan tidak menimbulkan efek samping sentral yang merugikan. Obat mirip aspirin hanya mengubah persepsi modalitas sensorik nyeri,tidak mempengaruhi sensorik lain. Nyeri akibat terpotongnya saraf aferen,tidak teratasi dengan obat mirip aspirin, sebaliknya nyeri kronis pasca bedah dapat diatasi oleh obat mirip aspirin (Freddy,1995).
EFEK ANTI-INFLAMASI. Kebanyakan obat mirip aspirin,terutama yang baru, lebih dimanfaatkan sebagai anti-inflamasi pada pengobatan kelainan muskuloskeletal,seperti artritis rematoid, osteo artritis dan spondilitis ankilosa. Tetapi harus diingat bahwa obat mirip aspirin ini hanya meringankan gejala nyeri dan inflamasi yang berkaitan dengan penyakitnyasecara simtomatik,tidak menghentikan,memperbaiki atau mencegah kerusakan jaringan pada kelainan muskuloskeletal (Freddy,1995).

EFEK ANTIPIRETIK. Temperatur tubuh secara normal diregulasi oleh hipotalamus. Demam terjadi bila terdapat gangguan pada sistem “thermostat” hipotalamus. Sebagai antipiretik, OAINS akan menurunkan suhu badan hanya dalam keadaan demam. Penurunan suhu badan berhubungan dengan peningkatan pengeluaran panas karena pelebaran pembuluh darah superfisial. Antipiresis mungkin disertai dengan pembentukan banyak keringat. Demam yang menyertai infeksi dianggap timbul akibat dua mekanisme kerja, yaitu pembentukan prostaglandin di dalam susunan syaraf pusat sebagai respon terhadap bakteri pirogen dan adanya efek interleukin-1 pada hipotalamus. Aspirin dan OAINS lainnya menghambat baik pirogen yang diinduksi oleh pembentukan prostaglandin maupun respon susunan syaraf pusat terhadap interleukin-1 sehingga dapat mengatur kembali “thermostat” di hipotalamus dan memudahkan pelepasan panas dengan jalan vasodilatasi.








D. Efek Samping Obat Anti Inflamasi Non Steroid
Selain menimbulkan efek terapi yang sama, OAINS juga memiliki efek samping yang serupa. Efek samping yang paling sering terjadi adalah : (Goodman & Gilman, 2001).
1.    Induksi tukak lambung atau tukak peptik yang kadang-kadang disertai anemia sekunder akibat perdarahan saluran cerna.   Mekanisme kerusakan pada lambung oleh OAINS terjadi melalui berbagai mekanisme. OAINS menimbulkan iritasi yang bersifat lokal yang mengakibatkan terjadinya difusi kembali asam lambung ke dalam mukosa dan menyebabkan kerusakan jaringan.
2.    OAINS juga menghambat sintesa prostaglandin yang merupakan salah satu aspek pertahanan mukosa lambung disamping mukus, bikarbonat, resistensi mukosa, dan aliran darah mukosa. Dengan terhambatnya pembentukan prostaglandin, maka akan terjadi gangguan barier mukosa lambung, berkurangnya sekresi mukus dan bikarbonat, berkurangnya aliran darah mukosa, dan terhambatnya proses regenerasi epitel mukosa lambung sehingga tukak lambung akan mudah terjadi.Indometasin, sulindak, dan natrium mefenamat mempunyai resirkulasi enterohepatik yang luas, yang menambah pemaparan obat-obat ini dan meningkatkan toksisitas gastrointestinalnya. Selain itu, indometasin juga dilaporkan dapat mengakibatkan iritasi setempat langsung yang dapat mengakibatkan perforasi. Penelitian lain menunjukkan bahwa OAINS yang menyebabkan kerusakan mukosa paling minimal adalah sulindak, aspirin enteric coated, diflunisal, dan ibuprofen. Gejala yang diakibatkan oleh OAINS antara lain dispepsia, nyeri epigastrium, indigesti, heart burn, nausea, vomitus, dan diare .
3.    Prostaglandin E2 (PGE2) dan I2 (PGI2­) yang dibentuk dalam glomerulus mempunyai pengaruh terutama pada aliran darah dan tingkat filtrasi glomerulus. PGI1 yang diproduksi pada arteriol ginjal juga mengatur aliran darah ginjal. Penghambatan biosintesis prostaglandin di ginjal, terutama PGE2, oleh OAINS menyebabkan penurunan aliran darah ginjal. Pada orang normal, dengan hidrasi yang cukup dan ginjal yang normal, gangguan ini tidak banyak mempengaruhi fungsi ginjal karena PGE2 dan PGI2 tidak memegang peranan penting dalam pengendalian fungsi ginjal. Tetapi pada penderita hipovolemia, sirosis hepatis yang disertai asites, dan penderita gagal jantung, PGE2 dan PGI2 menjadi penting untuk mempertahankan fungsi ginjal. Sehingga bila OAINS diberikan, akan terjadi penurunan kecepatan filtrasi glomerulus dan aliran darah ginjal bahkan dapat pula terjadi gagal ginjal. Penghambatan enzim siklooksigenase dapat menyebabkan terjadinya hiperkalemia. Hal ini sering sekali terjadi pada penderita diabetes mellitus, insufisiensi ginjal, dan penderita yang menggunakan β-blocker dan ACE-inhibitor atau diuretika yang menjaga kalium (potassium sparing). Selain itu, penggunaan OAINS dapat menimbulkan reaksi idiosinkrasi yang disertai proteinuria yang masif dan nefritis interstitial yang akut.
4.    Efek samping yang lain ialah gangguan fungsi trombosit akibat penghambatan biosintesis tromboksan A2 (TXA2) Freddy,1995). TXA2, sama seperti prostaglandin, disintesis dari asam arachidonat dengan bantuan enzim siklooksigenase. OAINS bekerja menghambat enzim siklooksigenase. Aspirin mengasetilasi Cox I (serin 529) dan Cox II (serin 512) sehingga sintesis prostaglandin dan TXA2 terhambat. Dengan terhambatnya TXA2, maka proses trombogenesis terganggu, dan akibatnya agregasi trombosit tidak terjadi. Jadi, efek antikoagulan trombosit yang memanjang pada penggunaan aspirin atau OAINS lainnya disebabkan oleh adanya asetilasi siklooksigenase trombosit yang irreversibel (oleh aspirin) maupun reversibel (oleh OAINS lainnya). Proses ini menetap selama trombosit masih terpapar OAINS dalam konsentrasi yang cukup tinggi .
Tidak seperti obat AINS, analgesik non narkotik mempunyai sedikit atau tidak mempunyai aktivitas anti-inflamasi. Dibandingkan analgesik narkotik, maka keuntungan analgesik non-narkotik tidak menimbulkan ketergantungan fisik atau toleransi ( Mycek, 1999 )

E. Pembagian obat-obat dari golongan analgetik non narkotik dan anti inflamasi sebagai berikut : (Freddy,1995)
1. Aspirin (asam asetil salisilat)
Indikasi  : Analgesik. Salisilat bermanfaat untuk mengobati nyeri  yang tidak spesifik misalnya sakit kepala,nyeri sendi,nyeri haid,neuralgia dan malgia.
                  Antipiresis, demam reumatoid akut,artritis reumatoid      serta aspirin juga digunakan untuk mencegah trombus koroner dan trombus vena dalam berdasarkan efek penghambatan agregasi trombosit
 KI             : Hipersensitivitas
 ES       : saluran cerna. Efek salisilat terhadap saluran cerna    yang paling umum adalah distres epigastrium,mual dan muntah.
                     Darah. Asetilasi irreversibel siklo-oksigenase trombosit menurunkan kadar trombosit TXA2 mengakibatkan penghambatan agregasi trombosit dan perpanjangan waktu pendarahan
                     Pernapasan. Pada dosis toksik,salisilat menimbulkan depresi pernapasan dan suatu kombinasi respirasi yang tidak terkompensasi dan asidosis metabolik.
                     Proses metabolik. Dosis besar salisilat melepaskan fosforilasi oksidatif. Energi yang digunakan untuk menghasilkan ATP secara normal dikeluarkan dengan panas,yang menerangkan terjadinya hipertemia yang disebabkan oleh pengambilan salisilat dalam jumlah toksik.
                     Hipersensitivitas. Gejala alergi yang asli adalah urtikaria, bronkokontriksi, atau edema angioneurotik, jarang terjadi anafilaktik syok yang fatal.
                     Sindrom reye. Dapat menimbulkan hepatitis dengan edema serebral.
     M.K                 :  Efek antipiretik dan anti inflamasi salisilat terjadi karena    penghambatan prostaglandin dipusat pengatur panas dalam hipotalamus dan perifer didaerah target. Lebih lanjut,dengan menurunkan sintesis prostaglandin, salisilat juga mencegah sensitisasi reseptor rasa sakit terhadap rangsangan mekanikl dan kimiawi. Aspirin juga menekan rangsang nyeri pada daerah subkortikal (yaitu talamus dan hipotalamus).
      F. dinamik     : Salisilat merupakan obat yang paling banyak digunakan sebagai analgesik,antipiretik dan anti inflamasi. Aspirin dosis terapi bekerja cepat dan efektif terhadap antipiretik. Dengan dosis ini laju metabolisme juga meningkat. Pada dosis toksik obat ini justru memperlihatkan efek piretik sehingga terjadi demam dan hiperhidrosis pada keracunan berat
F. kinetik    : Pada  pemberian oral, sebagian salisilat diabsorbsi dengan cepat dalam bentuk utuh dilambung,tetapi sebagian besar diusus halus bagian atas. Kadar tertinggi dicapai kira-kira 2 jam pemberian. Kecepatan absorbsinya tergantung pada kecepatan disintegrasi dan disolusi tablet, pH permukaan mukosa dan waktu pengosongan lambung. Absorbsi pada pemberial secara rektal,lebih lambat dan tidak sempurna sehingga cara ini tidak digunakan.
Dosis            :  Analgesik dan antipiresis. Dosis salisilat untuk dewasa    ialah 325mg-650mg, diberikan secara oral tiap 3atau 4 jam. Untuk anak 15-20mg/kgBB,diberikan tiap 4-6jam dengan dosis total tidak melebihi 3,6 g per hari.
                                 Demam reumatik akut. Dosis untuk dewasa, 5-8 g per hari, diberikan 1 g per kali. Dosis untuk anak 100-125 mg/kg/BB/hari,diberikan 4-6 jam,selama seminggu. Setelah itu tisp minggu dosis berangsur diturunkan sampai 60 mg/kgBB/hari
                                 Artritis reumatoid. Dosisnya ialah 4-6g/hari tetapi dosis 3 g kadang-kadang cukup memuaskan.
                                 Penggunaan lain. Laporan menunjukkan bahwa dosis aspirin kecil (325 mg/hari) yang diminum tiap hari dapat mengurangi insiden infark miokard akut,dan kematian pada penderita angina tidak stabil.
    Sediaan          : Aspirin tersedia dalam bentuk tablet 100 mg untuk anak dan tablet 500 mg untuk dewasa
2.Indometasin
   Indikasi         : Sebagai anti inflamasi, obat AINS ini lebih poten daripada
                            Aspirin, juga bermanfaat untuk mengontrol nyeri yang    berhubungan dengan uveitis dan pasca operasi mata, dan sebagai antipiretik untuk penyakit hodgkin,bila demam refrakter terhadap obat lain, seperti aspirin, endometasin dapat memperlambat persalinan dengan menekan kontraksi uterus. Juga efektif pada pengobatan duktus arteriosus paten.
 KI            :         Tidak dianjurkan diberikan pada anak, wanita hamil, penderita gangguan psikiatris dan penderita penyakit lambung.
  ES        :      Efek samping saluran cerna berupa nyeri abdomen, diare pendarahan lambung dan pankreatitis. Sakit kepala hebat dialami oleh kira-kira 20-25% penderita dan sering disertai pusing, depresi dan rasa bingung. Halusinasi dan psikosis pernah dilaporkan. Indometasin juga dilaporkan menyebabkan agranulositosis,anemia aplastik dan trombositopenia. Vasokontriksi pembuluh koroner pernah dilaporkan. Hiperkalemia dapat terjadi akibat hambatn yang kuat terhadap biosintesis PG diginjal. Alergi dapat pula timbul dengan manifestasi urtikaria,gatal dan serangan asma.
MK          :          Absorbsi indometasin setelah pemberian oral cukupn baik,92-99% indometasin terikat pada protein plasma. Metabolismenya terjadi dihati. Metabolisme dieksresi dalam bentuk asal maupun metabolit melalui urin dan empedu. Waktu paruh plasma kira-kira 2-4 jam.
F. kinetik :   Indometasin cepat dan hampir sempurna diabsorbsi dari saluran cerna bagian atas setelah pemberian per-oral, dimetabolisme oleh hati, dieksresikan dalam empedu dan urine dalam bentuk tidak berubah dan dalam bentuk metabolit.
Dosis             :  Dosis indometasin yang lazim ialah 2-4 kali 25 mg sehari. Untuk mengurangi gejala reumatik dimalam hari, indometasin diberikan 50-100 mg sebelum tidur.
3. Ibuprofen
  Indikasi : Semua obat-obat ini mempunyai aktivitas anti inflamasi,analgesik dan antipiretik dan mendapat prioritas yang luas pada pengobatan rematoid dan osteartritis kronik karena efek terhadap saluran cerna umum paling sedikit dibandingkan dengan aspirin.
 KI            :         Ibuprofen tidak dianjurkan diminum oleh wanita hamil dan menyusui.
 ES         :           Efek samping terhadap saluran cerna lebih ringan dibandingkan dengan aspirin,indometasin, atau naproksen. Efek samping lainnya yang jarang ialah eritema kulit, sakit kepala,trombositopenia,ambliopia toksik yang reversibel.
 MK          ;         Absorbsi ibuprofen cepat melalui lambung dan kadar maksimum dalam plasma dicapai setelah 1-2 jam. Waktu paruh dalam plasma sekitar 2 jam. 90% ibuprofen terikat pada protein plasma. Eksresinya berlangsung cepat dan lengkap. Kira-kira 90% dari dosis yang diabsorbsi akan dieksresi  melalui urin sebagai metabolit atau konyugatnya. Metabolit utama merupakan hasil hidroksilasi dan karboksilasi
Dosis          :   Dosis sebagai analgesik 4 kali 400 mg sehari tetapi sebaiknya dosis optimal pada tiap orang ditentukan secara individual.
4. Fenilbutazon dan oksifenbutazon
   Indikasi :        Dalam klinik fenilbutazon dan oksifenbutazon digunakan untuk mengobati penyakit piral (gout)akut,artritis reumatoid dan gangguan sendi otot lainnya misalnya spondilitis ankilosa,osteoartritis.
  KI            :        Fenilbutazon dan oksifenbutazon dikontraindikasikan pada penderita dengan hipertensi,penyakit jantung,penyakit ginjal,dan gangguan fungsi hati sehubungan dengan sifatnya yang menyebabkan retensiair dan natrium. Juga pada penderita dengan riwayat tukak peptik dan alergi terhadap kedfua obat
 ES         :           Alergi terhadap fenilbutazon dan oksifenbutazon sering terjadi berupa reaksi kulit seperti urtikaria,udem angioneurotik,eritema nodosum,sindrom steven-jhonson,dermatitis eksfoliativa dan lain-lain.Juga dapat terjadianemiaaplastik,agranulositosis,leukopenia,trombositopenia,nefritis,hepatitis dan stomatitis ulseratif
F. dinamik  :  Efek anti inflamasi fenilbutazon untuk penyakit artritis reumatoid dan sejenisnya sama kuat dengan salisilat,tetapi efek toksiknya berbeda. Efek analgetik terhadap nyeri yang sebabnya non reumatik lebih lemah dari salisilat. Walupun memperlihatkan efek analgesik-antipiretik,fenilbutazon tidak digunakan  sebagai antipiretik dan analgetik karena toksisitasnya
  F. kinetik : Fenilbutason diabsorbsi dengan cepat dan sempurna pada pemberian peroral. Kadar tertinggi dicapai dalam waktu 2 jam. Dalam dosis terapi,98 % fenilbutazon terikat pada protein mungkin hanya 90%. Waktu paruh fenilbutazon 50-65 jam.
Dosis          :      penyakit piral akut. Diberikan 800 mg/hari selama dua hari atau hari pertama 800mg/hari,disusul 300mg/hari untuk 3 hari berikutnya. Boleh tiap 4 jam sampai gejala inflamasi berkurang. Disusul dosis yang lebih kecil untuk 2 atau 3 hari, pengobatan ini hendaknya diberikan tidak lebih dari 7 hari.
                              Artritis reumatoid. 3-4 kali 100mg/hari,diberikan selama seminggu. Bila dosis penunjang sebesar 100-200 mg/hari mencukupi,pengobatan dapat diberikan dalam jangka lebih lama dengan pengawasan. Pemakaian yang lama hendaknya dihindari.
 Sediaan      :   Berbentuk tablet 100-200 mg/hari
5.Asetaminofen dan fenasetin
 Indikasi :          Penggunaannya untuk meredakan demam tidak seluas penggunaannya sebagai analgesik.
  KI            :        Tidak dianjurkan pada penderita penyakit hati
 ES            :        Reaksi alergi terhadap derivat para-aminofenol jarang terjadi. Manifestasinya berupa eritem atau urtikaria dan gejala yang lebih berat berupa dema dan lesi pada mukosa.
                           Fenasetin dapat menyebabkan anemia hemolitik,terutama pada pemakaian kronik. Anemia hemolitik dapat terjadi berdasarkanmekanisme autoimun,defisiensi enzim G6PD dan adanya metabolit yang abnormal
F. dinamik  ; Efek analgesik parasetamol dan fenasetin serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat.
                              Efek anti inflamasi sangat lemah, dan karena itu parasetamol dan fenasetin tidak digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol merupakan penghambat biosintesis PG yang lemah. Efek iritasi, erosi dan pendarahan lambung tidak terlihat pada kedua obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa.      
F. kinetik    ; Parasetamol dan fenasetin diabsorbsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh. Dalam plasma, 25% parasetamol dan 30% fenasetin terikat protein plasma. Kedua obat ini dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Sebagian asetaminofen (80%) dikonjugasi dengan asam glukuronat dan sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat. Selain itu kedua obat ini mengalami hidroksilasi
  Dosis         :  Dosis parasetamol untuk dewasa 300 mg-n 1 g per kali, dengan maksimum 4 g per hari, untuk anak 6-12 tahun : 150-300 mg/kali, dengan maksimum 1,2 g/hari. Untuk anak 1-6 tahun : 60-120 mg/kali dan bayi dibawah 1 tahun : 60 mg/kali, keduanya diberikan maksimum 6 kali sehari
Sediaan   :  Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal,berbentuk tablet 500 mg atau sirup yang mengandung 120mg/5ml. selain itu parasetamol terdapat sebagi sediaan kombinasi tetap,dalam bentuk tablet maupun cairan.
6. Asam mefenamat dan meklofenamat
  Indikasi   :       digunakan sebagai analgesik,sebagai anti-inflamasi. Meklofenamat digunakan sebagai anti inflamasi pada terapi artritis reumatoid dan osteoartritis
  KI            :        Obat ini tidak dianjurkan untuk diberikan kepada anak dibawah 14 tahun dan wanita hami, dan pemberian tidak melebihi 7 hari.
 ES            :        Efek samping terhadap saluran cerna sering timbul misalnya dispepsia dan gejala iritasi lain terhadap mukosa lambung. Pada orang usia lanjut efek samping diare hebat lebih sering dilaporkan.
Dosis        :        Dosis asam mefenamat adalah 2-3 kali 250-500 mg     sehari. Sedangkan dosis meklofenamat untuk terapi penyakit sendi adalah 200-400 mg sehari
Sediaan    :       Berbentuk tablet 250-500 mg
7. Diklofenak
  Indikasi      : Digunakan untuk pengobatan jangka lama artritis rematoid, osteoartris dan spondilitis ankilosa.
  KI                 :  Tidak dianjurkan pada wanita hamil dan menyusui
  ES            :Efek samping yang lazim ialah mual,gastritis,eritema kulit dan sakit kepala sama seperti semua obat AINS. Pemakaian obat ini harus hati-hati pada penderita tukak lambung. Peningkatan enzim ransaminasi dapat terjadi pada 15 % pasien dan imunnya kembali normal.
    F. kinetik     ; Absorbsi obat ini melalui saluran cerna berlangsung cepat dan lengkap. Obat ini terikat 99% pada protein plasma dan mengalami efek lintas awal sebesar 40-50%. Walaupun waktu paruh singkat yakni 1-3 jam, diklofenak diakumulasi di cairan sinovial yang menjelaskan efek terapi disendi jauh lebih panjang dari waktu paruh obat tersebut
     Dosis           : Dosis untuk orang dewasa 100-150 mg sehari terbagi dua atau tiga dosis        
    Sediaan          :  berbentuk tablet 100-150 mg
8.Piroksikam
 Indikasi     :      Piroksikam digunakan untuk pengobatan artritis rematoid,spondilitis ankilosa,dan osteoartritis
  KI            :        Tidak dianjurkan pada wanita hamil,penderita tukak lambung dan penderita yang sedang minum antikoagulan
 ES            :        Efek samping tersering adalah gangguan saluran cerna,antara lain yang berat adalah tukak lambung. Efek samping lain adalah pusing,tinitus,nyeri kepala dan eritem kulit.
F. kinetik    :   Absorbsi berlangsung cepat dilambung,terikat 99% pada protein plasma. Obat ini menjalani siklus enterohepatik. Kadar taraf mantapdicapai sekitar 7-10 hari dan kadar dalam plasma kira-kira sama dengan kadar cairan sinovial
Dosis     :  Untuk artritis reumatoid,osteoartritis,spondilitis ankilosa dengan dosis 10-20 mg sehari    
Sediaan           :  Berbentuk tablet  10-20 mg
9.Diflunisal
 Indikasi     :      Untuk pengobatan analgesik dan antiinflamasi tetapi hampir tidak bersifat antipiretik
  KI            :        Tidak dianjurkan pada wanita hamil dan menyusui
 ES            :        Efek sampingnya jauh lebih ringan daripada asetosal dan tidak menyebabkan gangguan pendengaran
Farmakokinetik : Setelah pemberian oral,kadar puncak dicapai dalam 2-3 jam. 99%  diflunisal terikat albumin plasma dan waktu paruh berkisar 8-12 jam.
Dosis              :  Sebagai analgesik ringan sampai sedang dengan dosis awal 500 mg disusul 250-500 mg sehari dengan dosis penunjang tidak melampaui 1,5 gram sehari
Sediaan             :  Berbentuk tablet  250-500 mg
10.Antipirin, aminopirin, dan dipiron
Indikasi           :    Saat ini dipiron hanya digunakan sebagai analgesi-antipiretik karena efek antiinflamsinya lemah. Sedangkan antipirin dan aminopirin tidak lagi karena lebih toksik daripada dipiron
KI                    :  Tidak dianjurkan pada wanita hamil dan menyusui
ES                      : Semua derivat pirazolon dapat menyebabkan agranulositosis,anemia aplastik dan trombositopenia. Dipiron juga dapat menimbulkan hemolisis,udem,tremor,mual dan muntah,perdarahan lambung dan anuria.  
 Dosis                :  Dosis untuk dipiron ialah tiga kali 0,3-1 gram sehari.        
Sediaan            :  Dipiron dalam bentuk tablet 500 mg dan larutan obat suntik yang mengandung 500 mg/ml


No.
Nama paten
Nama pabrikan
1.
2.  
3.        
4.
5.
6.
7.
8.
                  Mixagrip
                  Aspirin
Biogesic
Feminax
Puyer 16
Analgan
     Poldan Mig
Ponstan
              Dankos
              Bayer
              Medifarma
              Konimex
  Bintang Toedjoe
              Mutifa
              Sanbe Farma
              Pfizer
Nama paten dan pabrikan OAINS


DAFTAR PUSTAKA

Freddy, 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Fakultas kedokteran UI, Jakarta.

Katzung, B.G., 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik, buku 2. Salemba Medika, Jakarta

Katzung, B.G., 2000. Farmakologi Dasar dan Klinik, buku 3 Edisi 8. Salemba Medika, Jakarta

Mutschler, 1991. Dinamika Obat Edisi V, ITB, Bandung.
Mycek, M.J., 1999. Farmakologi Ulasan Bergambar. Widya Medica Jakarta.

Olson, J., 1995. Belajar Mudah Farmakologi Cetakan I. Penerbit ECG , Jakarta. 

Siswandono. 2000. Kimia Medisinal Edisi 2. Airlangga University Press. Surabaya.

Suyono, S. 2001. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3, FKUI, Jakarta.

Tim Penyusun,. 2006. Bahan Kuliah Ilmu Gizi 1, Fakultas Kedokteran UNHAS, Makassar

Tim Penyusun, 2002. Data Obat di Indonesia.  Grafidian Medipress. Jakarta.

Tjay, tan Hoan, 2002. Obat-Obat Penting, Elex Media Kompotindo, Jakarta. 


  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar