Sabtu, 25 Desember 2010

ANTIPSIKOTIK

Obat penyakit jiwa adalah obat-obat yang bekerja terhadap SSP dengan mempe­ngaruhi fungsi-fungsi psikis dan proses­proses mental. Dari banyak kelompok obat yang memenuhi definisi ini, hanya psikofarmaka sejati yang akan dibicarakan di sini, khususnya antipsikotika dan antidepresi­va.
 Di masa lampau, penyakit jiwa diobati dengan sedativa, seperti candu, bro­mida, dan skopolamin, kemudian dengan barbital. Pengobatan ini sering kali dileng­kapi dengan beberapa cara lain, misalnya kerja kreatif, kur tidur (1922) atau metode­ metode yang agak drastis (shock insulin, 1933 dan shock listrik, 1937). Pada schizo­frenia parah bahkan dilakukan operasi otak (leukotomia, 1935) untuk mengeluarkan seba­gian otak. Cara-cara ini menghasilkan efek yang cukup baik, terutama electroshock (Electro Convulsive Therapy, ECT), tetapi pelaksanaannya dengan gejala yang hebat (serangan epilepsi, kerusakan otak, hilang­nya ingatan), telah menemui perlawanan dari baik pasien maupun perawat.
Pendobrakan dalam farmakoterapi psi­kose telah dimulai dengan introduksi klor­promazin pada tahun 1952. Antipsiko­tikum pertama ini disusul oleh alkaloida Rauwolfia reserpin (1954), yaitu suatu obat hipertensi yang dewasa ini dianggap obso­let. Kemudian, banyak antipsikotika lain dipasarkan, yang efektif dalam menanggu­langi banyak gejala psikose. Kemajuan selanjutnya dicapai di akhir tahun 1980-an dengan ditemukannya antipsikota baru yang mampu menyembuhkan gejala-gejala negatif, yang kebal bagi obat-obat terdahulu.
Obat-obat "baru" itu tidak mampu me­nyembuhkan 100% gangguan jiwa, namun banyak gejalanya dapat dihalau atau diku­rangi. Keadaan pasien dapat diperbaiki, hingga si pasien dapat melanjutkan kehi­dupannya secara bebas dengan kualitas hidup yang baik. Lagi pula, obat-obat ini tidak saja lebih efektif daripada obat-obat dan cara-cara lama, melainkan mengubah drastis dan mempermudah perawatan pa­sien di rumah sakit gangguan jiwa. Mereka menjadi lebih terbuka dan mau mengada­kan kontak dengan para dokter, perawat, dan terapisnya. Masa perawatannya di rumah sakit pun dapat dipersingkat, karena sering kali pengobatannya dapat secara ambulan, artinya poliklinis, di rumahnya sendiri. Resosialisasinya dalam masyarakat juga beriangsung lebih lancar. Meskipun demikian, psikofarmaka ternyata tidak da­pat menggantikan seluruhnya terapi kIasik, seperti ECT pada keadaan depresi tertentu.
 Psikofarmaka dalam arti sempit yang terutama digunakan untuk penanganan gangguan jiwa, dapat digolongkan dalam 2 kelompok besar yakni :
a.    Antipsikotika, juga disebut neuroleptika atau major tranquillizers, yang bekerja antipsikotik dan sedative. Obat ini digunakan khusus untuk bermacam-macam psikose (antara lain schizofrenia) dan mania.
b.    Antidepresiva, yang berdaya memperbaiki suasana murung dan putus asa dan terutama digunakan  pada keadaan depresi, panic, dan fobia.
Klasifikasi. Ada ratusan penyakit jiwa dan gangguan perilaku, yang tidak mudah di­diagnosa. Untuk memudahkan dan men­standarisasi diagnosa, lazimnya digunakan klasifikasidari APA (American Psychiatric Association) dalam buku pedomannya DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, edisi ke-4, 1996). Dalam DSM IV ini diberikan definisi dan kriteria seksama dari semua gangguan psikiatris.
Di bawah ini diberikan ring­kasan singkat dari sejumlah.gangguan jiwa terpenting yang berkaitan dengan psikose.
a.       Psikose didefinisikan sebagai gangguan jiwa yang sangat merusak akal budi dan pengertian (insight), timbulnya pandangan yang tidak realistis atau bizar (aneh), mem­pengaruhi kepribadian dan mengurangi berfungsinya si penderita. Gejala psikotis mencakup waham (pikiran khayali), halusi­nasi, dan gangguan berpikir formil (tak dapat berpikir riil), yang sering kali dise­babkan oleh schizofrenia. Psikose dapat diobati dengan antipsikotika (1).
b.       Neurose termasuk gangguan jiwa tanpa gejala psikotis. Kepribadian pasien relatif kurang dirusak dan kontak dengan realitas tidak terganggu. Gangguan jiwa ini dapat dianggap sebagai bentuk berlebihan dari reaksi normal terhadap situasi dan kejadi­aan dengan penuh stress. Gejalanya dapat disebut kegelisahan, cemas, murung, mudah tersinggung, dan pelbagai perasaan tidak enak di tubuh. Penyakit ini dapat ditanggulangi dengan tranquillizers.
c.       Sindroma Borderline, lengkapnya Borderline Personality Disorder (BPD), yang gejalanya terletak di perbatasan antara neurose dan psikose. Sejak tahun 1987, sin­drama ini diakui sebagai penyakit jiwa dan dalam DSM 1996 dimuat kriteria untuk diagnosanya. Gejalanya banyak sekali, yang utama antara lain impulsivitas (minuman keras /narkotika, penyalahgunaan, me­ngendarai mobil secara membahayakan, hasrat kuat untuk membeli), instabilitas emosional dengan perubahan suasana jiwa secara mendadak, dan percobaan bunuh diri, kesulitan membuat kontak, karena menganggap segala sesuatu sebagai hitam­putih. Ciri-ciri lainnya adalah ketakutan di­tinggalkan dan sukar hidup sendiri, juga kecurigaan kuat dengan hilangnya hubung­an antara daya berpikir dan perasaan (di­sosiasi), masa-masa psikose singkat, dan masa-masa depresi. Akibat gejala-gejala ini, penderita BPD mengalami banyak kesulitan dalam pergaulan dan cenderung menarik diri dari kehidupan sosial. Pengobatan dilakukan poliklinis dengan kombinasi dari suatu bentuk psikoterapi khusus (M.Lineham: Terapi perlakuan dialec­tis, 2,3) dan psikofarmaka (antipsikotika, antidepresiva, atau obat-obat yang meregu­lasi suasana, seperti litium).
d.       Mania didefinisikan sebagai kecenderun­gan patologis untuk suatu aktivitas tertentu, yang tidak dapat dikendalikan, misalnya mengutil (kleptomania). Suasana jiwa pasien muluk dan seolah-olah ada paksaan untuk bertindak, melakukan aktivitas berlebihan, kegelisahan, dan perilaku tak terkendali. Bila masa-masa mania diselingi masa-masa depresi, gangguan ini disebut depresi manis, Antidepresiva. Pena­nganan mania dilakukan dengan antipsikoti­ka, khususnya klorpromazin, haloperidol, dan pimozida.

Schizofrenia (4,5,6).
Schizofrenia merupakan gangguan jiwa yang dalam kebanyakan kasus bersifat sa­ngat serius, berkelanjutan, dan dapat mengakibatkan kendala sosial, emosional, dan kognitif (pengenalan, pengetahuan, daya membedakan; Lat. cognitus = dikenali). Akan tetapi, ada pula banyak varian lain yang kurang serius. Schizofrenia adalah penye­bab terpenting gangguan psikotis, di mana periode psikotis diselingi periode 'normal', saat pasien bisa berfungsi baik. Mulainya penyakit sering kali secara menyelinap, adakalanya juga dengan mendadak. Pada pria, biasanya timbul antara usia 15-25 tahun, jarang di atas 30 tahun, sedangkan pada wanita antara 25-35 tahun.
Penyebabnya masih belum diketahui, mungkin berkaitan dengan terganggunya kesimbangan sistem kimiawi rumit di otak. Dewasa ini hanya ditetapkan adanya faktor keturunan dengan faktor lingkungan sebagai pemeran penting.
Skizofrenia merupakan psikosis tipe khusus, yaitu gangguan mental yang disebabkan oleh disfungsi otak yang diwariskan. Sifat yang menonjol ialah delusi, halusinasi (sering dalam bentuk suara), gangguan pemikiran atau bicara. Gangguan mental ini merupakan penyakit yang sering terjadi di antara 1 % penduduk atau kira­-kira sama dengan insidens diabetes melitus. Pada awalnya, penderita terserang penyakit selama masa remaja, bersifat kronis dan " lumpuhkan". Skizofrenia mempunyai komponen genetik yang kuat dan barangkali disertai kelainan biokimiawi dasar, akibat aktivitas berlebihan neuron dopaminergik mesolimbik.
Istilah antipsikosis dan neuroleptik sama-sama digunakan untuk menunjuk sekelompok obat yang tidak hanya dipakai khusus untuk skizofrenia, namun juga efektif untuk beberapa jenis psikosis dan gaduh gelisah.
Obat-obat antipsikosis telah digunakan secara klinis selama 50 tahun. Reserpine dan chlorpromazine merupakan obat pertama yang digunakan untuk skizofrenia. Meskipun chlorpromazine kadangkala masih digunakan untuk terapi psikosis, obat-obat perintis ini telah banyak digantikan oleh obat-obat baru. Bagaimanapun juga, dampak keuntungan obat-abat tersebut terhadap dunia kedokteran jiwa-terutama dalam penanganan skizofrenia sangatlah besar. Jumlah pasien yang membutuhkan rawat inap di rumah sakit jiwa telah banyak berkurang, dan kecenderungan gangguan jiwa lebih banyak ke arah dasar biologis.
Obat-obat neuroleptika juga disebut obat antiskizofren, obat antipsikotik atau transquilizer mayor) terutama digunakan untuk mengobati skizofrenia tetapi juga efektif untuk psikotik lainnya seperti keadaan maniak dan delirium. Obat-obat neuroleptika tradisional (Iama) adalah inhibitor kompetitif pada berbagai reseptor, tetapi efek antipsikotiknya mencerminkan penghambatan kompetitif dari reseseptor dopamin. Obat-obat ini berbeda dalam potensinya tetapi tidak ada satu obatpun yang secara klinik lebih efektif dari yang lain. Sebaliknya, obat antipsikotik "atipikal" yang lebih baru, aktivitasnya yang unik adalah penghambatan reseptor serotonin. Terapi telah menunjukkan ke arah penggunaan obat dengan potensi tinggi, seperti tiotiksen, haloperidol, dan flufenazin. Klorpromazin prototip obat neuroleptika, jarang digunakan karena sering terjadi efek samping yang ­berbahaya. Obat neuroleptika bukan untuk pengobatan kuratif tidak menghilangkan gangguan pemikiran yang fundamental, tetapi sering memungkinkan pasien psikotik berfungsi dalam lingkungnya yang suportif.
Psikotropik ialah obat yang bekerja pada atau mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan atau peng­alaman (WHO, 1966). Sebenarnya psikotropik baru diperkenalkan sejak lahirnya suatu cabang ilmu farmakologi yakni psikofarmakologi, yang khusus mempelajari psikofarmaka atau psikotropik. Psikofarmakologi berkembang dengan pesat sejak ditemukannya alkaloid Rauwolfia dan klorpromazin yang ternyata efektif untuk mengobati kelainan psi­kiatrik. Sekarang psikofarmakologi menjadi titik per­temuan antara cabang ilmu klinik dan preklinik yaitu: farmakologi, fisiologi, biokimia, genetika serta ilmu biomedik lain. Berbeda dengan antibiotik. pengo­batan dengan psikotropik bersifat simtomatik dan lebih didasarkan atas pengetahuan empirik. Hal ini dapat dipahami, karena patofisiologi penyakit jiwa itu sendiri belum jelas. Psikotropik hanya mengubah keadaan jiwa penderita sehingga lebih kooperatif dan dapat menerima psikoterapi dengan lebih baik.
Dewasa ini terapi renjatan Iistrik (ECT, electro convulsive therapy) masih digunakan dalam psi­kiatri, terutama untuk mengatasi depresi hebat den­gan kecenderungan bunuh diri. Biasanya ECT Iebih cepat menghilangkan depresi daripada obat. Keuntungan penggunaan obat ialah pemberiannya Iebih mudah, dapat digunakan untuk pengobatan masal, relatif murah (penderita tidak memerlukan perawatan di rumah sakit) dan pemberiannya dapat dilaksanakan lebih cepat pada penderita yang tidak kooperatif.
Berdasarkan penggunaan klinik, psikotropik dibagi menjadi 4 golongan yaitu : (1) Antipsikosis (major tranquilizer, neuroleptik) ;
(2) Antiansietas (antineurosis, minor tranquilizer) ;
 (3) Antidepresin; dan
(4)Psikotogenik (psikotomimetik, psikodisleptik, halusinogenik).
Neuroleptik bermanfaat pada terapi psi­kosis akut maupun kronik. Kegunaannya pada psi­koneurosis dan penyakit psikosomatik belum jelas. Ciri terpenting obat neuroleptik ialah :
(1)  Berefek antipsikosis, yaitu berguna mengatasi agresivitas, hiperaktivitas dan labilitas emosional pada pasien psikosis. Efek ini tidak berhubungan langsung den­gan efek sedatif;
(2)  Dosis besar tidak menyebabkan koma yang dalam ataupun anestesia;
(3)  Dapat menimbulkan gejala ekstrapiramidal yang reversi­bel atau ireversibel; dan
(4) Tidak ada kecenderung­an untuk menimbulkan ketergantungan psikik dan fisik.
Antipsikotika, juga disebut neuroleptika atau major tranquillizers, adalah obat-obat yang dapat menekan fungsi-fungsi psikis tertentu tanpa mempengaruhi fungsi-fungsi umum, seperti berpikir dan kelakuan nor­mal. Obat-obat ini dapat meredakan emosi dan agresi, dan dapat pula menghilangkan atau mengurangi gangguan jiwa, seperti impian dan pikiran khayali (halusinasi) serta menormalkan perilaku yang tidak nor­mal. Oleh karena itu, antipsikotika terutama digunakan pada psikosis, penyakit jiwa hebat tanpa keinsafan sakit pada pasien, misalnya penyakit schizofrenia ("gila") dan psikosis mania-depresif.
Minor tranquillizers adalah anksioliti­ka yang digunakan pada gangguan kece­masan dan pada gangguan tidur, seperti hipnotika.
Khasiat fisiologi dan penggunaan
Antipsikotika memiliki sejurnlah kegiatan fisiologi, yakni:
a.       Antipsikotis. Obat-obat ini digunakan untuk gangguan jiwa dengan gejala psiko­tis, seperti schizofrenia, mania, dan depresi psikotis. Di samping itu, obat-obat ini digu­nakan untuk menangani gangguan perilaku serius pada pasien demensia dan dengan handikap rohani, juga untuk keadaan gelisah akut (excitatio) dan penyakit lata (p. Gilles de la Tourette).
b.       Anxiolitis, yaitu mampu meniadakan rasa bimbang, takut, kegelisahan, dan agre­si yang hebat. Oleh karena itu, adakalanya obat ini digunakan dalam dosis rendah sebagai minor tranquillizer pada kasus-kasus besar, di mana benzodiazepin kurang efek­tif, misalnya pimozida dan thioridazin. Berhubung efek sampingnya, penggunaan antipsikotika dalam dosis rendah sebagai anxiolitika tidak dianjurkan.
c.       Antiemetis berdasarkan perintangan neurotransmisi dari CTZ (Chemo Trigger Zone) ke pusat muntah dengan jalan blokade reseptor dopamin, Karena sifat inilah, obat ini sering digu­nakan untuk melawan mual dan muntah yang hebat, seperti pada terapi sitostatika; sedangkan pada mabuk-jalan tidak efektif. Obat dengan daya antiemetis kuat adalah proklorperazin dan thietilperazin. Obat lain dengan daya antimual yang baik dalam dosis rendah adalah klorpromazin, perfe­nazin, triflupromazin, flufenazin, halope­ridol (dan metoklopramida).
d.       Analgetis. Beberapa antipsikotika me­miliki khasiat analgetis kuat, antara lain levomepromazin, haloperidol, dan drope­ridol (Thalamonal). Tetapi obat ini jarang digunakan sebagai obat antinyeri, kecuali droperidol. Obat lainnya dapat memper­kuat efek analgetika dengan jalan mening­katkan ambang-nyeri, misalnya klorproma­zin.
Klorpromazin dan haloperidol adakala­nya juga digunakan pada sedu (hiccup) yang tak henti-henti dan gangguan keseimbangan bila obat lain tidak ampuh.
Mekanisme kerja
Semua psikofarmaka bersifat lipofil dan mudah masuk ke dalam CCS (cairan cere­brospinal), dan obat-obat ini melakukan kegiatannya secara langsung terhadap saraf otak. Mekanisme kerjanya pada taraf biokimiawi belum diketahui dengan pasti, tetapi ada petunjuk kuat bahwa mekanisme ini berhubungan erat dengan kadar neuro­transmitter di otak atau antar-keseimban­gannya.
Antipsikotika menghambat (agak) kuat reseptor dopamin (D2) di sistem limbis otak dan di samping itu juga menghambat resep­tor D1/D4, α1 (dan α2)-adrenerg, serotonin, muskarin, dan histamin. Akan tetapi, pada pasien yang kebal bagi obat-obat klasik telah ditemukan pula blokade tuntas dari reseptor D2 tersebut. Riset baru mengenai otak telah menunjukkan bahwa blokade-D2 saja tidak selalu cukup untuk menang­gulangi schizofrenia secara efektif. Untuk ini, neurohormon lainnya, seperti serotonin (5HT2), glutamat, dan GABA (gamma-butyric acid), perlu dipengaruhi.
Mulai kerjanya blokade-D2 cepat, begitu pula efeknya pada keadaan gelisah. Sebalik­nya, kerjanya terhadap gejala psikose lain, seperti waham, halusinasi, dan gangguan pikiran baru nyata setelah beberapa minggu. Mungkin efek lambat ini (masa latensi) disebabkan sistem reseptor-dopamin menjadi kurang peka.
§  Antipsikotika atypis memiliki afinitas lebih besar untuk reseptor-D1 dan –D2, sehingga lebih efektif daripada obat-obat klasik untuk melawan simtom negatif. Lagi pula obat ini lebih jarang menimbulkan GEP dan dyskinesia tarda.
a.      Sulpirida terutama menghambat resep­tor-D2 dan praktis tanpa afinitas bagi resep­tor lain. Pada dosis rendah (di bawah 600 mg/hari) terutama bekerja antagonistis ter­hadap reseptor presinaptis, dan pada dosis lebih tinggi (di atas 800 mg/hari) juga ter­hadap reseptor-D2 postsinaptis, seperti obat-obat.klasik. Efek antipsikotis terutama dicapai pada dosis lebih tinggi, dan dosis rendah berguna pada psikose dengan terutama simtom negatif.
b.      Klozapin: ikatannya pada reseptor-D2 agak ringan (ca 20%) dibandingkan obat-­obat klasik (60-75%). Namun, efek antipsi­kotisnya kuat, yang bisa dianggap paradok­sal. Namun, afinitasnya pada reseptor lain dengan efek antihistamin, antisero­tonin, antikolinergis, dan antiadrenergis adalah relatif tinggi. Menurut perkiraan, efek baiknya dapat dijelaskan oleh blokade kuat dari reseptor-D2, -D4 dan -5HT2. Blokade reseptor muskarin dan -D4 diduga mengurangi GEP, sedangkan blokade SHT2 meningkatkan sintesa dan pelepasan dopamin di otak. Hal ini meniadakan sebagian blokade D2, tetapi mengurangi risiko GEP.
c.      Risperidon juga terutama menghambat reseptor -D2 dan 5HT2, dengan perbanding­an afinitas 1 ; 10, juga dari reseptor –a1, -a2, dan –H1. Blokade a1 dan a2 dapat menimbulkan masing-masing hipotensi dan depresi, sedang­kan blokade H1 berkaitan dengan sedasi.
d.      Olanzapin menghambat semua resep­tor-dopamin (D1 s/ d D5) dan reseptor H1, 5­HT2, adrenergis, dan kolinergis, dengan afinitas lebih tinggi untuk reseptor 5-HT2 dibandingkan D2.
e.      Reboxetin (Edronax) yang secara selektif menghambat reuptake noradrenalin, pada paruh tahun 1997 dipasarkan di Inggris.
Efek samping
SejumIah efek samping serius dapat membatasi penggunaan antipsikotika dan yang paling sering terjadi adalah:
ü  Gejala ekstrapiramidal (GEP), yang bertalian dengan daya antidopaminnya dan bersifat kurang berat pada senyawa butirofenon, butilpiperidin, dan obat atypis. GEP dapat berbentuk sebagai berikut:
v  Parkinsonisme (gejala penyakit Parkin­son): hipokinesia (daya gerak berku­rang, berjalan langkah demi langkah), dan kekakuan anggota tubuh, ka­dang-kadang tremor tangan dan kelu­ar liur berlebihan. Gejala lainnya "rab­bit-syndrome" (mulut membuat gerak­an mengunyah, mirip kelinci), yang dapat muncul setelah beberapa ming­gu atau bulan. Terutama pada dosis tinggi dan lebih jarang pada obat-obat dengan kerja antikolinergis. Insidensinya 2-10%.
v  Dystonia akut: kontraksi otot-otot muka dan tengkuk, kepala miring, gangguan menelan, sukar bicara, dan kejang rahang. Guna menghindarkan­nya, dosis harus dinaikkan dengan perlahan, atau diberikan antikoliner­gika sebagai profilaksis.
v  Akathisia: selalu ingin bergerak, tidak mampu duduk diam tanpa meng­gerakkan kaki, tangan, atau tubuh (Vun. kathisis = duduk, a = tidak, tanpa). Ketiga GEP di atas dapat dikurangi dengan menurunkan dosis dan dapat diobati dengan antikoli­nergika. Akathisia juga dapat diatasi dengan propranolol atau benzodiazepin.
v  Dyskinesia tarda: gerakan abnormal tak-sengaja, khususnya otot-otot muka dan mulut (menjulurkan lidah), yang dapat menjadi kekal. Gejala ini sering muncul setelah 0,5-3 tahun dan berkaitan antara lain dengan dosis kumulatif (total) yang telah diberikan. Resiko efek samping ini meningkat pada penggunaan lama dan tidak ter­gantung dari dosis, juga lebih sering terjadi pada lansia; insidensinya ting­gi (10-15%). Gejala ini lenyap dengan menaikkan dosis, tetapi kemudian timbul kembali secara lebih hebat. Antikolinergika juga dapat memper­hebat gejala tersebut. Pemberian vitamin E dapat mengurangi efek sam­ping ini (5).
v  Sindroma neuroleptika maligne berupa demam, kekakuan otot, dan GEP lain, kesadaran menurun dan kelainan-kelainan SSO (tachycardia, berkeringat, fluktuasi tekanan darah, inkontinensi). Gejala ini tak tergan­tung pada dosis, terutama terjadi pada pria muda dalam waktu 2 ming­gu dengan insidensi 1 %. Diagnosanya sukar, tetapi bila tidak ditangani bisa berakhir fatal.
ü  Galaktorrea (banyak keluar air susu), juga akibat blokade dopamin, yang iden­tik dengan PIF ( Prolactine Inhibiting Factor). Sekresi prolaktin tidak dirintangi lagi, kadarnya meningkat dan produksi air susu bertambah banyak.
ü  Sedasi, yang bertalian dengan khasiat antihistamin, khususnya klorpromazin, thioridazin, dan klozapin. Efek samping­nya ringan pada zat-zat difenilbutilamin.
ü  Hipotensi ortostatis akibat blokade resep­tor α-adrenergis, misalnya klorpromazin, thioridazin, klozapin, dan pipamperon.
ü  Efek antikolinergis akibat blokade re­septor muskarin, yang bercirikan antara lain mulut kering, penglihatan guram, obstipasi, retensi kemih, dan tachycardia, terutama pada lansia. Efeknya khusus kuat pada klorpromazin, thioridazin, dan klozapin.
ü  Efek antiserotonin akibat blokade resep­tor-5HT, yang berupa stimulasi nafsu makan dengan akibat naiknya berat ­badan dan hiperglikemia.
ü  Gejala penarikan dapat timbul, meski­pun obat-obat ini tidak berdaya adiktif. Bila penggunaannya dihentikan menda­dak dapat timbul sakit kepala, sukar tidur, mual, muntah, anorexia, dan rasa takut. Efek ini terutama pada obat-obat dengan kerja antikolinergis. Oleh karena itu, penghentiannya selalu perlu secara berangsur.
ü  efek lainnya. Akhirnya masih ada bebe­rapa efek samping yang karakteristik bagi obat-obat tertentu, yakni:
v   fenotiazin: sering kali reaksi imunolo­gis, seperti fotosensibilisasi, hepatitis, dan kelainan darah dan dermatitis alergis, jarang pada zat-zat thioxan­ten. Efek lainnya berupa kelainan mata dengan endapan pigmen di lensa dan cornea, serta retinopati pada thioridazin (dosis di atas 800 mg/hari).
v   klozapin: dapat menimbulkan agra­nulocytose (1-2%), juga bradycardia, hipotensi ortostatis, dan berhentinya jantung.
Kehamilan dan laktasi. Penggunaan obat-obat ini selama kehamilan dan laktasi sedapat mungkin harus dihindari berhu­bung toksisitasnya bagi janin dan bayi. Karena psikose yang tidak ditangani de­ngan tepat dapat sangat merusak kesehatan ibu dan janin, maka risiko penggunaan antipsikotika perlu dipertimbangkan per pasien secara individual. Bila sangat perlu hendaknya diberikan dalam dosis serendah mungkin selama masa yang singkat. Ming­gu-minggu dengan fisiko tinggi adalah minggu ke-4 sampai ke-10 dan 2-4 minggu terakhir; selama periode tersebut, hendak­nya jangan diberikan medikasi. Obat pilihan pertama untuk keadaan darurat adalah haloperidol.

Interaksi
Beta-blockers dan antidepresiva trisiklis dapat saling memperkuat efek antipsikotika de­ngan jalan menghambat masing-masing metabolisme.
Levodopa dan bromokriptin dapat dikurangi kerja dopaminergnya.
Barbital menurunkan kadar darah anti­psikotika berdasarkan induksi enzim.
Klorpromazin dan garam-garam litium sa­ling menurunkan kadar darahnya masing­-masing.

Penanganan schizofrenia (11,12,13)
Kesulitan utama penanganan semua gang­guan jiwa adalah tidak adanya keinsafan sakit pada kebanyakan pasien. Mereka menganggap halusinasi dan pikiran khayal­nya sebagai sesuatu yang sejati/riil dan selalu berpikir dirinya tidak sakit, sehingga sering kali menolak minum obat. Lagi pula undang-undang yang ketat di banyak negara tidak memungkinkan pengobatan/ opname dipaksakan bagi seseorang tanpa per­setujuannya. Pemaksaan hanya diizinkan jika pasien membahayakan dirinya sendiri atau orang lain. Dengan demikian, tak jarang penderita psikotis hebat tidak bisa ditolong. Penderita umumnya tidak bisa memelihara kebutuhan dasar dirinya dan berakhir sebagai pengembara di jalan-jalan kota.
Jelaslah bahwa setelah masa psikose lewat, juga kesetiaan terapinya (drug com­pliance) kurang besar, yang tak jarang mengakibatkan gagalnya pengobatan.
Schizofrenia tidak dapat disembuhkan, penanganannya bersifat simtomatis, yakni menghalau gejala-gejalanya dan kemudian mencegah kambuhnya lagi. Di samping itu, rehabilitasi psikososialnya sangat penting untuk reintegrasi pasien dalam masyarakat.
* Psikoterapi.
Dewasa ini para ilmiawan sepaham bahwa penanganan schizofrenia paling efektif terdiri atas kombinasi dari farmakoterapi bersama psikoterapi, terma­suk terapi kelakuan kognitif, yang juga disebut "terapi bicara". Dokter/psikiater berusaha membangun hubungan baik dengan pasien­nya dan memperoleh kepercayaan mereka, juga mencoba membantu mengatasi pro­blema psikis mereka, serta memberikan petunjuk bagaimana menghadapi masalah. Di samping itu, penting sekali untuk menunjang pula secara moril keluarganya yang lazimnya sangat frustasi mengenai pergaulannya dengan pasien.
* Obat-obat klasik.
Umumnya dimulai dengan suatu obat klasik, terutama klorpromazin bila diperIukan efek sedatif, trifluoperazin bila sedasi tidak dikehen­daki, atau pimozida jika pasien justru perIu diaktifkan. Efek antipsikotika baru menjadi nyata setelah terapi 2-3 minggu. Bila sesu­dah masa latensi, obat-obat kelompok kimiawi lain. Flufenazin dekanoat digunakan sebagai profilakse untuk mencegah kambuhnya penyakit. Thiorida­zin berguna pada lansia untuk mengurangi GEP dan gejala antikolinergis. Obat-obat klasik terutama efektif untuk meniadakan simtom pasitif, dan efeknya baru nampak setelah beberapa bulan. Pengobatan perIu dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan lebih rendah untuk mencegah residif, sela­ma minimal 2 tahun dan tak jarang seumur hidup.
* Obat-obat atypis.
Obat-Obat atypis lebih ampuh untuk simtom negatif kronis, mungkin karena pengikatannya pada resep­tor -D1 dan –D2 lebih kuat. Sulpirida. risperidon, dan olanzapin dianjurkan bila obat-obat klasik tidak efektif (lagi) atau bila terjadi terIalu banyak efek samping. Karena klozapin dapat menimbulkan agranulocyto­sis hebat (l-2% dari kasus), selama terapi perIu dilakukan penghitungan lekosit setiap minggu.
* Obat-obat tambahan antikolinergika (tri­hexyfenidyl, orfenadrin) dan beta-blockers (propranolol).
Obat-obat ini sering ditam­bahkan untuk menangguIangi efek-efek samping antipsikotika, terutama gejala extrapiramidal (GEP). Benzodiazepin diberi­kan guna mengatasi kegelisahan dan kece­masan.
* Penanganan altematif
Sejumlah psikiater (CPfeiffer, A.Hoffer) hanyalah berhasil baik dengan mengkombinasi vitamin dan mineral tertentu dalam mega­dose. Penanganan ortomolekuler ini ber­dasarkan penemuan bahwa pasien schizo­freni mengalami defisiensi nutrien-nutrien bersangkutan. Cara ini terdiri dari pember­ian nutrien tepat dengan antar-perbandingan yang tepat ke sel-sel tubuh (Yun. orthos = lurus, tepat, sehat). Vitamin. Yang diberikan adalah vitamin C (3 x 1 g), niasinamida (3 x 1-2 g), piridoksin (2-3 x 250 mg), dan vitamin E (I x 400 mg). Pilihan ini didasarkan pada sering ditemukannya kekurangan vitamin-vitamin ter­sebut di otak penderita schizofrenia.
Mekanisme kerja penanganan schizofrenia
Menurut perkiraan hal ini disebabkan oleh terhambatnya peng­ubahan asam amino triptofan menjadi niasinamida dalam otak, sehingga terjadi kekurangan vitamin B3 dan kelebihan triptofan bebas. Triptofan berlebihan dapat men­dorong pembentukan zat-zat halusinogen tertentu (yang menimbulkan khayalan) dan dapat menimbulkan kelainan pada suasana jiwa dan pengamatan. Halusinogen ini dapat dirombak oleh enzim MAO (mono­aminooksidase) yang justru memerlukan niasinamida (dan vitamin C) untuk kerja­nya. Lagi pula pada schizofrenia terdapat kekurangan co-enzim NAD (nicotinamide­adenine-dinucleotide) di otak yang dibentuk di bawah pengaruh niasinamida dan berperan penting pada reaksi oksidasi dan reduksi di dalam sel. Vitamin B3 ini dan piridoksin mutlak diperlukan untuk reaksi pengubahan triptofan, karena merupakan ko-enzim bagi hidroksilase.                                                    
Di samping vitamin-vitamin itu, elemen­-elemen tertentu diberikan pula, yaitu: magnesium (250 mg), zinc (50 mg), seleni­um (220 mcg), dan mangan (25 mg) sehari. Dianjurkan pula diet tanpa bahan makanan yang mengan­dung asam amino, yang dapat meningkat­kan kadar atau aktivitas dopamin di otak, yakni kacang-kacangan (dari genus Fiava), gluten (suatu protein dalam gandum), dan kacang tanah (mengandung banyak glycine dan serine).
Dengan kombinasi ini, gejala penyakit ternyata dapat sangat dikurangi, sehingga banyak pasien dapat berfungsi sosial lebih baik, bahkan dapat bekerja secara lebih kurang normal.
Penggolongan Antipsikotika
Antipsikotika biasanya dibagi dalam dua kelompok besar, yakni obat typis atau klasik dan obat atypis.
A.     Antipsikotika klasik, terutama efektif mengatasi simtom positif; pada umumnya dibagi lagi dalam sejurnlah kelompok kimiawi sebagai berikut:
a.    Derivat fenotiazin: klorpromazin, le­vomepromazin, dan triflupromazin (Siquil)-thioridazin dan periciazin­- perfenazin dan flufenazin-perazin (Taxilan), trifluoperazin, proklorpe­razin (Stemetil), dan thietilperazin (Torecan).
b.    Derivat thioxanthen: klorprotixen (Truxal) dan zuklopentixol (Cisor­dinol).
c.    Derivat butirofenon: haloperidol, bromperidol, pipamperon, dan dro­peridol.
d.    Derivat butilpiperidin: pimozida, fluspirilen, dan penfluridol.
B.  Antipsikotika atypis.
Obat-obat atypis ini sulpirida, kloza­pin, risperidon, olanzapin, dan queti­apin (Seroquel) bekerja efektif melawan simtom-simtom negatif, yang praktis kebal terhadap obat-obat klasik. Lagi pula efek sampingnya lebih ringan, khususnya gangguan ekstrapiramidal dan dyskine­sia tarda.
Sertindol (Serdolect) setelah dipasar­kan hanya satu tahun lebih, akhir 1998 ditarik dari peredaran di Eropa, karena beberapa kali dilaporkan terjadinya arit­mia dan kematian mendadak (Pharma Selecta 1988; 14: 144). Obat atypis lain­nya yang kini sedang diselidiki secara klinis adalah oliperidon dan ziprasidon.
Obat-obat neroleptika dapat dibagi atas 5 kelompok utama berdasarkan struktur obat yaitu ;
  1. FENOTIAZIN
-       Klorpromazin
-       Flufetazin
-       Proklorperazin
-       Prometazin
-       Tioridazin
  1.  BENZISOKSAZOL
-       Risperidon
  1. DIBENZODIAZEPIM
-       Klozapin
  1. BUTIROFENON
-       Haloperidol
  1. TIOXANTIN
-       Tiotiksen
1. Klorpromazin (EI.): Largactil
Antipsikotikum tertua ini (1951) diturun­kan dari prometazin dan memiliki rantai-sisi alifatis. Khasiat anti-psikotisnya lemah sedangkan daya antihistamin dan alfa adrenergnya lebih kuat. Obat ini memperkuat efek analgetika, sehingga membuat pasien lebih tak-acuh pada rasa nyeri. Selain pada keadaan psikose dan sebagai obat tambahan pada analgetika, klorpromazin juga digunakan untuk mengobati sedu yang tak henti-henti (singultus, hiccup).
Resorpsinya di usus baik, tetapi BA-nya hanya ca 30% akibat FPE besar. PP-nya tinggi, sekitar 95%, t 1/2nya 16-37 jam. Zat ini mudah melintasi barrier darah -CCS kadarnya dalam cairan otak lebih tinggi daripada dalam darah. Ekskresinya lewat kemih sebagai metabolitnya.
Indikasi
Mengendalikan mania, terapi shcizofrenia, mengendalikan mual dan muntah, menghilangkan kegelisahan dan ketakutan sebelum operasi, porforia intermiten akut, Terapi tambahan pada tetanus.
Dosis dan cara pemberian
Anak >= 6 bulan :
Sizoprenia/psikosis :
Oral : 0,5-1 mg/kg/dosis setiap 4-6 jam;
Anak yang lebih tua mungkin membutuhkan 200 mg/hari atau lebih besar; im, iv: 0,5-1 mg/kg/dosis setiap 6-8 jam, < 5 tahun (22,7 kg): maksimum 75 mg/hari.
Mual muntah ; Oral : 0,5-1 mg/kg/dosis setiap 4-6 jam bila diperlukan; im, iv : 0,5-1 mg/kg/dosis setiap 6-8 jam, < 5 tahun (22,75 kg) : maksimum 40 mg/hari, 5-12 tahun (22,7-45,5 jg) : maksimum 75 mg/hari. Dewasa : Shcizoprenia/psikosis; Oral : 30-2000 mg/hari dibagi dalam 1-4 dosis, mulai dengan dosis rendah, kemudian sesuaikan dengan kebutuhan. Dosis lazim : 400-600 mg/hari, beberapa pasien membutuhkan 1-2 g/hari. im.,iv. : awal: 25 mg, dapt diulang 25-50 mg , dalam 1-4 jam, naikkan bertahap sampai maksimum 400 mg/dosis setiap 4-6 jam sampai pasien terkendali; Dosis lazim : 300-800 mg/hari. Cegukan tidak terkendali : Oral, im.: 25-50 mg sehari 3-4 kali. Mual muntah : Oral : 10-25 mg setiap 4-6 jam, im.,iv., : 25-50 mg setiap 4-6 jam. Orang tua : gejala-gejala perilaku yang berkaitan dengan demensia : awal : 10-25 mg sehari 1-2 kali, naikkan pada interval 4-7 hari dengan 10-25 mg/hari, naikkan interval dosis, sehari 2x, sehari 3 kali dst Bila perlu untuk mengontrol respons dan efek samping; dosis maksimum : 800 mg.
Farmakologi
Onset kerja : im.: 15 menit; oral: 30-60 menit, absorpsi cepat, distribusi melewati plasenta dan masuk ke ASI, Vd: 20 L/kg, Ikatan protein 92%-97%, Metabolisme : di hati secara luas menjadi metabolit aktif dan tidak aktif, Bioavailibilitas: 20%, Waktu paruh bifasik, awal: 2 jam, akhir: 30 jam, Ekskresi lewat urin dalam 24 jam <1% sebagai bentuk utuh.
Kontra indikasi
Sindrom Reye
Efek samping
Kardiovaskuler : hipotensi postural, takikardia, pusing, perubahan interval QT tidak spesifik. SSP : mengantuk, distonia, akathisia, pseudoparkinsonism, diskinesia tardif, sindroma neurolepsi malignan, kejang. Kulit : fotosensitivitas, dermatitis, pigmentasi (abu-abu-biru). Metabolik & endokrin : laktasi, amenore,  ginekomastia, pembesaran payudara, hiperglisemia, hipoglisemia, test kehamilan positif palsu. Saluran cerna : mual, konstipasi xerostomia. Agenitourinari : retensi urin, gangguan ejakulasi, impotensi. Hematologi : agranulositosis, eosinofilia, leukopenia, anemia hemolisis, anemia aplastik, purpura trombositopenia. Hati : jaundice. Mata : penglihatan kabur, perubahan kornea dan lentikuler, keratopati epitel, retinopati pigmen.
Interaksi obat
Efek klorpromazin dapat ditingkatkan oleh delavirdin, fluoksetin, mikonazol, paroksetin, pergolid, kuinidin, kuinin, ritonavir, ropinirol  dan inhibitor CYP2D6 lainnya. Klorpromazin memperkuat efek penekan terhadap SSP dari analgesik narkotik, etanol, barbiturat, antidepresan siklik, antihistamin, hipnotik-sedatif. Klorpromazin dapat meningkatkan efek amfetamin, betabloker tertentu, dekstrometorfan, fluoksetin, lidokain, paroksetin, risperidon, ritonavir, antidepresan trisiklik dan substrat CYP2D6 lainnya. Klorpromazin dapat meningkatkan efek /toksiksitas antikolinergik, antihipertensi,litium, trazodon, asam valproat. Penggunaan bersama antidepresan trisklik dapt mengubah respons dan meningkatkan toksisitas. Kombinasi dengan epinefrin akan dapat menimbulkan hipotensi. Kombinasi dengan antiaritmia, cisaprid, pimosid, sparfloksacin dan obat-obat yang memperpanjang interval QT akan dapat meningkatkan resiko aritmia. Kombinasi dengan metoklopramid akan dapt meningkatkan resiko gejala ekstrapiramidal. Klorpromasin mungkin menurunkan efek substrat prodrug CYP2D6 seperti kodein, hirokodon, oksikodon dan tramadol. Klorpromasin mungkin dapat menghambat efek antiparkinson levodopa dan mungkin dapat menghambat efek pressor epinefrin.
Mekanisme kerja
Memblok reseptor dopaminergik di postsinaptik mesolimbik otak. Memblok kuat efek alfa adrenergik. Menekan penglepasan hormon hipotalamus dan hipofisa, menekan Reticular Activating System (RAS) sehingga mempengaruhi metabolisme basal, temperatur tubuh, kesiagaan, tonus vasomotor dandan emesis.
* Levomepromazin (Nozinan) adalah derivat yang atom-klor-nya digantikan dengan -OCH3. Khasiat antipsikotisnya sama dengan klorpromazin. Daya analgetisnya lebih kuat, ca 60% dari morfin, sehingga berguna untuk nyeri hebat, antara lain pada kanker dan sinanaga (herpes zoster). Plasm t1/2-nya lebih panjang, sampai 78 jam. Efek sam ping penting lainnya adalah hipotensi dan rasa kantuk.
Dosis: pada nyeri hebat i.m. 12,5-25 m oral 4-6 dd 12,5-50 mg (garam-hidrogenmaleat).
2. Flufenasin
Indikasi
Mengendalikan gangguan psikotik dan shcizofrenia.
Dosis
Anak : Oral : 0,04 mg/kg/hari.
Dewasa : psikosis : Oral : 0,5-10 mg/hari dibagi dalam beberapa dosis dengan interval 6-8 jam, beberapa pasien mungkin membutuhkan peningkatan dosis sampai 40 mg/hari.; i.m.: 2,5-10 mg/hari dibagi dalam beberapa dosis dengan interval 6-8 jam (dosis parenteral 1/3-1/2 dosis oral); im. Dekanoat : 12,5 mg setiap 2 minggu. 12,5 mg dekanoat setiap 3 minggu = 10 mg HCl/hari.
Farmakologi
Onset kerja im.: sebagai HCl: sekitar 1 jam, Puncak efek : neuroleptik sebagai dekanoat : 48-86 jam. Durasi garam HCl : 6-8 jam, sebagai dekanoat : 24-72 jam. Absorbsi oral bervariasi dan tidak teratur. Distribusi : menembus plasenta, masuk ke ASI. Ikatan protein : 91% dan 99%. Metabolisme di hati. T½ eliminasi HCl : 33 jam, Dekanoat : 163-232 jam. Ekskresi lewat urin sebagai metabolit.
Kontra Indikasi
Hipersensitif terhadap flufenazin atau komponen formulasi lainnya. Mungkin terjadi reaktivitas silang antara fenotiazin. Depresi SSP berat, koma, kerusakan otak subkortikal, diskrasia darah, penyakit hati.
Efek samping
KV : takikardia, tekanan darah berfluktuasi, hiper/hipotensi, aritmia, udem. SSP : parkinsonisme, akathisia, distonia, diskinesia tardif, pusing, hiper refleksia, sakit kepala, udem serebral, mengantuk, lelah, gelisah, mimpi aneh, perubahan EEG, depresi, kejang, perubahan pengaturan pusat temperatur tubuh. Kulit : dermatitis, eksim, eritema, fotosensitifitas, rash, seborea, pigmentasi, urtikaria. Metabolik & endokrin : perubahan siklus menstruasi, nyeri payudara, amenorea, galaktoria, ginekomastia, perubahan libido, peningkatan prolaktin, Saluran cerna : berat badan bertambah, kehilangan selera makan, salivasi, xerostomia, konstipasi, ileus paralitik, udem laring. Genitourinari : gangguan ejakulasi, impotensi, poliuria, paralisis kandung urin, enurisis, Darah : agranulositosis, leukopenia, trombositopenia, nontrombositopenik purpura, eosinofilia, pansitopenia. Hati : cholestatic jaundice, hepatotoksik. Otot-saraf : tangan gemetar, sindroma lupus eritamatosus, spasme muka sebelah. Mata : retinopati pigmen, perubahan kornea dan lensa, penglihatan kabur, glaukoma, Pernafasan : kongesti hidung, asma.
Interaksi obat:
Inhibit CYP2D6 : chlorpromazin, delavirdin, fluoksetin, mikonazol, paroksetin, pergolid, kuinidin, kuinin, ritonavir, ropinirol meningkatkan efek flufenasin. Flufenasin memperkuat efek penekanan terhadap SSP dari analgesik narkotik, etanol, barbiturat, antidepresan siklik, antihistamin, hipnotik-sedatif. Flufenasin dapat meningkatkan efek/toksisitas antikolinergik, antihipertensif, litium, trazodon, asam valproat. Penggunaan bersama antidepresan trisklik dapt mengubah respons dan meningkatkan toksisitas. Kombinasi flufenasin dengan epinefrin akan dapt menimbulkan hipotensi. Kombinasi dengan antiaritmia, cisaprid, pimosid, sparfloksacin dan obat-obat yang memperpanjang interval QT akan dapat meningkatkan resiko aritmia. Kombinasi denagn metoklopramid akan dapt meningkatkan resiko gejala ekstrapiramidal. Fenotiasin akan menghambat aktivitas guanetidin, levodopa dan brokriptin. Barbiturat, merokok akan dapat meningkatkan metabolisme flufenasin di hati. flufenasin dan antipsikotik potensi rendah lainnya dapat menghambat efek presor epinefrin.
Mekanisme aksi
Memblok reseptor dopaminergik D1 dan D2 di postsinaptik mesolimbik otak. Menekan penglepasan hormon hipotalamus dan hipofisa, menekan Reticular Activating System (RAS) sehingga mempengaruhi metabolisme basal, temperatur tubuh, kesiagaan, tonus vasomotor dan emesis
3. Haloperidol
Indikasi
Penanganan shcizofrenia, sindroma Tourette pada anak dan dewasa, masalah perilaku yang berat pada anak.
Dosis dan cara pemberian
Anak-anak 3-12 tahun Oral : Awal : 0,05 mg/kg/hari atau 0,25-0,5 mg/hari dibagi dalam 2-3 dosis; peningkatan 0,25-0,5 mg setiap 5-7 hari maksimum 0,15 mg/kg/hari.
Dosis lazim pemeliharaan : Agitasi/hiperkinesia : 0,01-0,003 mg/kg/hari, sehari satu kali.; Gangguan nonpsikosis : 0,05-0,075 mg/kg/hari dibagi dalam 2-3 dosis; Gangguan psikosis : 0,05-15 mg/kg/hari dibagi dalam 2-3 dosis. Anak-anak 6-12 tahun: Gangguan psikosis/sedasi : i.im. sebagai laktat: 1-3 mg/dosis setiap 4-8 jam ditingkatkan sampai maksimum 0,15 mg/kg/hari; ubah ke terapi oral sesegera mungkin.
Dewasa : Psikosis : Oral : 0,5-5 mg, sehari 2-3 kali, maksimum  lazimnya 30 mg/hari. I.m. sebagai laktat : 2-5 mg setiap 4-8 jam sesuai kebutuhan; Sebagai dekanoat : awal 10-20 x dosis harian oral, diberikan dengan interval 4 minggu. Dosis pemeliharaan : 10-15 kali dosis awal oral, digunakan untuk menstabilkan gejala psikiatri. Delirium di unit perawatan intensif: iv.: 2-10 mg; dapat diulang secara bolus setiap 20-30 menit sampai dicapai kondisi tenang, kemudian berikan 25% dosis maksimum setiap 6 jam, monitor EKG dan interval QT. IV intermiten : 0,03-0,15 mg/kg setiap 30 menit sampai 6 jam. Oral : Agitasi : 5-10 mg; infus iv. 100mg/100 ml D5W (dextrosa 5%), kecepatan 3-25 mg/jam. Agitasi berat : setiap 30-60 menit 5-10 mg oral atau 5 mg im., dosis pemeliharaan total 10-20 mg. Orang tua : Awal 0,25-0,5 mg oral sehari 1-2 kali, tingkatkan dosis 0,25-0,5 mg/hari setiap interval 4-7 hari, Naikkan interval pemberian sehari 2 kali, sehari 3 kali dan seterusnya bila diperlukan untuk mengontrol efek samping.  
Farmakologi
Memblok reseptor dopaminergik D1 dan D2 di postsinaptik mesolimbik otak. Menekan penglepasan hormon hipotalamus dan hipofisa, menekan Reticular Activating System (RAS) sehingga mempengaruhi metabolisme basal, temperatur tubuh, kesiagaan, tonus vasomotor dan emesis. Onset kerja : sedasi :iv.: sekitar 1 jam, Durasi dekanoat : sekitar 3 minggu; distribusi; melewati plasenta dan masuk ke ASI. Ikatan protein : 90%, metabolisme: di hati menjadi senyawa tidak aktif, bioavailabilitas oral : 60%, T½ eliminasi 20 jam, T maks serum : 20 menit, Ekskresi : urin, dalam 5 hari, 33-40% sebagai metabolit, feses 15%.
Kontra indikasi
Hipersensitif terhadap haloperidol atau komponen lain formulasi, penyakit Parkinson, depresi berat SSP, supresi sumsum tulang, penyakit jantung  atau hati berat, koma.
Efek samping
KV : takikardia, hiper/hipotensi, aritmia, gelombang T abnormal dengan perpanjangan repolarisasi ventrikel, torsade de pointes (sekitar 4%). SSP : gelisah, cemas, reaksi ekstrapiramidal, reaksi distonik, tanda pseudoparkinson, diskinesia tardif, sindroma neurolepsi malignan, perubahan pengaturan temperatur tubuh, akathisia, distonia tardif, insomnia, eforia, agitasi, pusing, depresi, lelah, sakit kepala, mengantuk, bingung, vertigo, kejang. Kulit : kontak dermatitis, fotosensitifitas, rash, hiperpigmentasi, alopesia Metabolik & endokrin : amenore,  gangguan seksual, nyeri payudara, ginekomastia, laktasi, pembesaran payudara, gangguan keteraturan menstruasi, hiperglisemia, hipoglisemia, hiponatremia; Saluran cerna : berat : mual muntah, anoreksia, konstipasi, diare, hipersalivasi, dispepsia, xerostomia. Saluran genito-urinari : retensi urin, priapisme; Hematologi : cholestatic jaundice, obstructive jaundice; Mata : penglihatan kabur, Pernafasan : spasme laring dan bronkus; Lain-lain : diaforesis dan heat stroke.
Interaksi obat
Efek haloperidol meningkat oleh klorokuin, propranolol, sulfadoksin-piridoksin, anti jamur azol, chlorpromazin, siprofloksacin, klaritromisin, delavirdin, diklofenak, doksisiklin, aritromisin, fluoksetin, imatinib, isoniasid, mikonazol, nefazodon, paroksetin, pergolid, propofol, protease inhibitor, kuinidin, kuinin, ritonavir, ropinirole, telitromisin, verapamil, dan inhibitor CYP2D6 atau 3A4. Haloperidol dapat meningkakan efek amfetamin, betabloker tertentu, benzodiazepin tertentu, kalsium antagonis, cisaprid, siklosporin, dekstrometorfan, alkaloid ergot, fluoksetin, inhibitor HMG0CoA reductase tertentu, lidokain, paroksetin, risperidon, ritonavir, sildenafil , takrolimus, antidepresan trisiklik, venlafaksin, dan sunstrat CYP2D6  atau 3A4. Haloperidol dapat meningkatkan efek antihipertensi, SSP depresan, litium, trazodon dan antidepresan trisiklik. Kombinasi haloperidol dengan indometasin dapat menyebabkan mengantuk, lelah dan bingung sedangkan dengan metoklopramid dapat meningkatkan resiko ekstrapiramidal. Haloperidol dapat menghambat kemampuan bromokriptin menurunkan konsentrasi prolaktin. Benztropin dan antikholinergik lainnya dapat menghambat respons terapi haloperidol dan menimbulkan efek antikholinergik. Barbiturat, karbamazepin, merokok, dapat meningkatkan metabolisme haloperidol. Haloperidol dapat menurunkan efek levodopa, hindari kombinasi. Haloperidol dapat menurunkan efek levodopa, hindari kombinasi. Haloperidol mungkin menurunkan efek substrat prodrug CYP2D6 seperti kodein, hirokodon, oksikodon dan tramadol.
Mekanisme aksi
Memblok reseptor dopaminergik D1 dan D2 di postsinaptik mesolimbik otak. Menekan penglepasan hormon hipotalamus dan hipofisa, menekan Reticular Activating System (RAS) sehingga mempengaruhi metabolisme basal, temperatur tubuh, kesiagaan, tonus vasomotor dan emesis.
4. Risperidon
Indikasi
Terapi shcizofrenia, mania akut, mania yang berkaitan dengan gangguan bipolar I
Dosis:
Anak dan remaja : Autis : awal 0,25 mg pada waktu tidur titrasi sampai 1 mg/hari (0,1 mg/kg/hari). Sizofrenia : awal : 0, 5 mg sehari 1-2 kali, bila dibutuhkan dinaikkan bertahap sampai 2-6 mg/hari. Gangguan mania bipolar: awal: 0,5 mg, naikkan sampai 0,5-3 mg/hari; Autism : awal o,25 mg pada saat tidur, naikkan sampai 1 mg/hari. Dewasa : Shcizofrenia : dosis awal ; 0,5- 1 mg sehari 2 kali, naikkan perlahan sampai kisaran optimal 3-6 mg/hari. Mania bipolar : awal : 2-3 mg, dosis tunggal, bila perlu sesuaikan dengan dosis 1 mg/hari, kisaran dosis : 1-6 mg/hari. Orang tua : awal : 0,25-1 mg dibagi dalam 2 dosis. Penyesuaian dosis pada gagal ginjal dan hati : oral : awal 0,25-0,5 mg sehari 2 kali. 
Farmakologi
Berikatan dengan reseptor serotonin 5HT2 dan Dopamin D2 di otak dan perifer. Ikatan dengan reseptor dopamin 20 kali lebih rendah dibandingkan ikatan dengan reseptor 5-HT2. Penambahan aktivitas antagonis reseptor serotonin pada aktivitas antagonis reseptor dopamin (mekanisme klasik neuroleptik) dipercaya memperbaiki gejala negatif psikosis dan menurunkan insidens efek samping ekstrapiramidal. Reseptor alfa 1, alfa2 adrenergik, reseptor histamin juga diantagonis dengan afinitas kuat. Risperidon mempunyai afinitas rendah atau sedang terhadap reseptor 5-HT1c, 5-HT1d dan5-HT1a, sedangkan terhadap reseptor D1 afinitasnya rendah dan tidak mempunyai afinitas terhadap reseptor muskarinik, beta1 dan beta2. Absorpsi oral cepat dan baik, makanan tidak berpengaruh; injeksi absorbsi awal <1%, penglepasan utama terjadi sekitar 3 minggu dan dipertahankan 4-6 minggu. Vd 1-2 l/kg, ikatan protein risperidon 90%, 9-hidroksirisperidon 77%. Metabolisme lewat hati secara ekstensif. Bioavailabilitas larutan 70%,  tablet 66% . Waktu paruh eliminasi oral 20 jam. Orang dengan metabolisme ekstensif : T½  risperidon 3 jam,  9-hidroksirisperidon 21 jam. Orang dengan metabolisme buruk ; T½ riperidon 20 jam, 9 hidroksi risperidon 30 jam. T½ injeksi 3-6 hari. T maks oral dalam 1 jam,  9-hidroksirisperidon : ekstensif metaboliser 3 jam, metaboliser yang jelek 17 jam. Ekskresi lewat urin 70%, lewat feses 15%.
Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap risperidon atau komponen-komponen lain sediaan.
Efek samping
Frekuensi>10% : SSP : insomnia, agitasi, cemas, sakit kepala, gejala ekstra piramidal, pusing(injeksi); Saluran cerna : berat badan naik; Pernapasan : rinitis(injeksi). Frekuensi 1-10% : KV : hipotensi, terutama ortostatik, takikardia, SSP : sedasi, pusing, gelisah, reaksi distoni, pseudoparkinson, diskinesia tardif, sindroma neurolepsi malignan, perubahan pengaturan suhu tubuh, nervous, lelah, somnolen, halusinasi. Dermatologi : fotosensitivitas, rash, kulit kering, seborea, akne. Endokrin-metabolisme : amenore, galaktorea, ginekomastia, disfungsi seks. Saluran cerna : konstipasi, xerostomia, dispepsia, muntah, nyeri abdominal, mual, anoreksia, diare, perubahan berat badan.
Interaksi obat
Efek risperidon dapat ditingkatkan oleh korpromazin, delavirdin, fluoksetin, mikonazol, paroksetin, pergolid, kuinidin, kuinin, ritonavir, ropinirol dan inhibitor CYP2D6 lainnya. Risperidon meningkatkan efek hipotensif antihipertensi. Klozapin menurunkan bersihan risperidon. Kombinasi dengan metoklopramid akan dapat meningkatkan resiko gejala ekstrapiramidal. Efek levodopa dapat diantagonis oleh risperidon, Karbamasepin menurunkan konsentrasi serum risperidon.
Mekanisme aksi
Klozapin menurunkan bersihan risperidon. Kombinasi dengan metoklopramid akan dapat meningkatkan resiko gejala ekstrapiramidal. Efek levodopa dapat diantagonis oleh risperidon, Karbamasepin menurunkan konsentrasi serum risperidon.
5. Thioridazin: Melleril.
Salah satu fenothiazin pertama ini dengan rantai-sisi piperidin (1958) memiliki khasiat antipsikotis dan sedatif yang baik, sehingga sering digunakan pada pasien2 yang sukar Iidur. Obat ini digunakan pula pada neurose hebat dengan depresi, rasa takut, dan kete­gangan, serta depresi dengan kegelisahan. Kerja anti-adrenergisnya lebih kuat, juga efek antihistamin, antikolinergis, dan anti­serotoninnya.
Resorpsinya di usus baik dan lengkap, tetapi BA-nya hanya 65% akibat FPE besar. PP-nya di atas 95%, t1/2-nya 10-24 jam. Ekskresinya berupa metabolit lewat tinja (50%) dan kemih (30%).
Efek samping yang terpenting adalah ge­jala antikolinergis kuat dan hipotensi orto­statis, GEP dan hepatitis yang jarang terjadi.
Dosis: oral 2-4 dd 25-75 mg (garam-HCD maksimum 800 mg sehari, sebagai tranquil­lizer 2-3 dd 15-30 mg.
* Periciazin (Neuleptil) adalah derivat­piperidin pula dengan efek antipsikotis agak ringan dan efek anti-adrenergis dan antiserotonin kuat.
Dosis: oral 2-3 dd 10-20 mg (garam-tar­trat), maksimum 90 mg/hari, pada manula dimulai dengan 5 mg/hari, yang berangsur­-angsur dinaikkan sampai 20-30 mg/hari.
6. Pedenazin: Trilafon, *Mutabon-D/M.
Derivat-fenotiazin dengan rantai-sisi pipe­razin ini (1957) berdaya antipsikotis kuat dengan daya anti-adrenergis dan antisero­tonin relatif lemah. Kerja antikolinergisnya ringan sekali. Obat ini juga berkhasiat anti­emetis kuat. GEP sering timbul.
Reasorpsinya di usus baik, BA-nya hanya ca 35% karena FPE tinggi. PP-nya di atas 90%, t1/2-nya ca 9 jam. Dalarn hati, zat ini dirom­bak menjadi metabolit yang kurang aktif. Perfenazin mengalami siklus enterohepatis.
Dosis: oral 2-3 dd 2-4 mg, maks 24 mg sehari, im. 100 mg (dekanoat/ enanthat, preparat depot) setiap 2-4 minggu .
* Trifluoperazin (Stelazin, Terfluzin) adalah derivat yang atom-Cl digantikan -CF3 de­ngan efek yang lebih kurang sama dengan perfenazin.
Dosis: oral permulaan 5 mg sehari, dan dinaikkan setiap 2-3 hari dengan 5 mg sam­pai maksimum 90 mg. Sebagai obat anti­mual dan tranquillizer 2 dd 1-3 mg.
* Flufenazin (Modecate, Moditen) adalah turunan-CH20H dari trifluoperazin dengan sifat hampir sarna. Daya antimual dan sedatifnya ringan. Flufenazin terutama digunakan sebagai injeksi kerja-panjang guna menjamin pengobatan. Plasma t1/2-nya dari senyawa -HCl, -enantat dan -dekanoat­nya masing-masing rata-rata 8 jam, 3,6 hari, dan 8 hari. GEP sering terjadi, efek anti-ko­linergis dan sedasifnya ringan. Esternya dapat mengakibatkan depresi serius.
Dosis: pada psikose akut i.m. 1,25 mg (HCl), lalu setiap 4-8 jarn 2-5 mg sampai gejala terkendali, pemeliharaan 25 mg enan­tat setiap 2 minggu, atau 25 mg dekanoat setiap 3-4 minggu.
7. Pimozida: Orap.
Derivat-difenilbutilpiperidin ini diturunkan dari droperidol (1969) dan memiliki khasiat antipsikotis kuat dan panjang. Efek terapi baru nyata sesudah beberapa waktu, tetapi bertahan agak lama (1-2 hari). Obat ini tidak layak diberikan pada keadaan eksitasi dan kegelisahan akut, yang memerlukan sedasi langsung. Lagi pula efek sedasinya lebih ringan dibandingkan obat-obat lain. Pimo­zida khusus digunakan pada psikose kronis jangka-panjang.
Resorpsinya di usus lambat dan variabel. Plasma t1/2-nya panjang: 55-150 jam; pada pasien schizofrenia rata-rata 55-150 jam. Sifat­nya sangat lipofil dan hanya sedikit dirom­bak dalam hati. Ekskresinya sangat lambat, karena selalu diresorpsi kembali oleh tubuli. Akhirnya ca 40% dikeluarkan lewat kemih terutama berupa metabolit dan 15% dengan tinja secara utuh.
Efek sampingnya berupa umum, GEP se­ring terjadi, adakalanya nampak perubahan jantung (ECG) dan aritmia.
Dosis: oral 1 dd 1-2 mg, dinaikkan secara berangsur-angsur setiap 2 minggu sampai maksimum 6 mg sehari.
* Penfluridol (Semap) adalah derivat ­piperidin pula (1971) dengan kerja sangat panjang (ca 7 hari) dan terutama berkhasiat antidopaminerg kuat. Efeknya dimulai relatif cepat, sesudah 1-2 hari. GEP sering terjadi .
Dosisnya: 1 x seminggu 10-20 mg, berangsur-angsur dinaikkan sampai maksi­mum 60 mg seminggu.
" Fluspirilen (lmap) adalah derivat-pipe­ridin long-acting pula, yang harus diberikan parenteral i.m. 1 x seminggu 1-10 mg.
8. Sulpirida: Dogmatil.
Derivat-sulfamoyl dianggap sebagai obat atypis pertama (1968) dan khusus memiliki daya antidopamin. Pada dosis rendah (200­-600 mg sehari), sulpirida digunakan untuk penanganan simtom negatif, dan pada dosis di atas 800 mg sebagai antipsikotikum. Pada semua dosis menimbulkan lebih jarang GEP dan sedasi, adakalanya dilaporkan galak­torrea, amenorroea, dan perintangan ovu­lasi.
Dosis: oral permulaan 1 dd 200 mg, sesu­dah 3 hari berangsur-angsur dinaikkan sam­pai 3-4 dd 200 mg. Pada pusing2 (vertigo) 150-300 mg sehari. i.m. 200-300 mg sehari selama 10 hari.
9. Klozapin: Leponex.
Senyawa-dibenzodiazepin ini (1969) juga termasuk kelompok obat-obat atypis. Kha­siatnya antipsikotis lemah, dan daya kerja noradrenolitis, antikolinergis, dan antihista­minenya kuat. Efek sedatif cepat dimu­lainya, efek antipsikotisnya setelah 1-6 bulan. Plasma-t1/2nya 6-14 jam. Efektivitasnya terhadap simtom positif dan negatif dari psikose akut lebih baik daripa­da obat-obat lain. Lagi pula tidak menim­bulkan GEP dan dyskinesia, dan jarang sekali akathisia dan dystonia. Tetapi peng­gunaannya dibatasi oleh risiko agranulocy­tose berbahaya (1-2%). Oleh karena itu, gam­baran-darah harus dimonitor selama 5-6 bulan pertama dari terapi (16).
Dosis: oral, Lm. 25-50 mg sehari, berang­sur-angsur dinaikkan sampai maksimum 600 mg sehari. Pemeliharaan 1 dd 200 mg malam hari.
* Olanzapin (Zyprexa) ada1ah derivat long­-acting terbaru (1995) dengan daya meng­hambat reseptor D1 sId D5 dan reseptor neurotransmitter lainnya. P1asma-t1/2-nya ca 30 jam. Olanzapin terutama digunakan pada schizofrenia, sarna ampuhnya dengan haloperidol tetapi kurang GEP Efek samp­ing tersering (>10%) adalah rasa kantuk dan naiknya berat badan. Agranulocytose belum dilaporkan.
Dosis: permulaan 1 dd 10 fig, pemeli­haraan 7,5-17,5 mg sehari. 
Cara Kerja
1.  Menghambat reseptor dopamin dalam otak : semua obat neuroleptika menghambat reseptor dopamin dalam otak dan perifer. Lima jenis reseptor dopamin telah di­ketahui. : Reseptor D1 dan D5 mengaktifkan adenine siklase, se­dangkanan reseptor D2, D3 dan D4 menghambatnya. Obat neuro­leptik terikat pada reseptor-reseptor tersebut dalam berbagai  tingkat, dan efikasi obat neuroleptika tradisional berkorelasi dengan  kemampuannya menghambat reseptor D2 dalam sis­tem mesolimbik otak. Kerja obat neuroleptika diantagonisir oleh obat-obat yang meningkatkan konsentrasi dopamin, mi­salnya L-dopa (prekursor metabolic dopamin) dan amfetamin (yang menunukkan efek neurology dan klinik yang amat mirip dengan yang terjadi pada kokain, efek amfetaminpada SSP dan SSP (Perifer) bersifat tidak langsung artinya tergantung pada peningkatan kadar transmiter pada ruang sinap, obat ini dapat memberikan efek ini karena melepaskan depot intaraseluler katekolamin dan obat ibi juga menghambat monoamineoksidase (MAO)).









        Obat-obatan                                dopamin
         neuroleptik                                                                                                    
                                    





                             PENURUNAN RESPON   INTRASELULER
Gambar. Kerja menghambat dopamin obat-obatan neuroleptika
2.    Menghambat reseptor serotonin dalam otak: Obat-obat “atipikal” yang lebih baru bekerja dengan menghambat resep­tor serotonin (S). Klozapin mempunyai afinitas yang kuat untuk  D1, D4 dan D2, S2 reseptor muskarinik dan alfa-adrenergik, tetapi juga reseptor D2 dopamin antagonis. Obat baru lain, risperidon (ris PEER i dohn) menghambat reseptor S2 lebih kuat dari reseptor D2, Kedua obat ini menimbulkan efek ekstrapiramidal yang lemah.

       Reseptor        Reseptor                   Reseptor           Reseptor
       Kolinergik      α-adrenergik                  Dopamin          serotonin
     (Muskarinik)
                                        
Gambar. obat-obat neuroleptika yang menghambat pada reseptor dopaminergik dan serotonergik serta pada reseptor mengikat histamin, kolinergik, adrenergik, GABA = asam γ-aminobutirat

Kerja
Kerja antipsikotika neuroleptika berupa penghambatan reseptor dopamine dan/atau serotonin. Banyak di antara obat-obat ini menghambat reseptor kolinergik, adrenergik dan histamin, dengan berbagai efek samping.
1.    Kerja antipsikotik: Obat-obat neuroleptika mengurangi ha­lusinasi dan agitasi dari skizofren dengan cara menghambat reseptor dopamin sistem mesolimbik otak. Obat-obat ini juga mempunyai efek menenangkan dan mengurangi gerakan fisik spontan. Berbeda dengan obat-obat depresan SSP, seperti barbiturat, neuroleptika tidak menekan fungsi intelektual pasien dan koordinasi motorik terganggu minimal. Efek antipsikotik biasanya terlihat setelah beberapa minggu, menunjukkan bahwa efek terapi berhubungan dengan perubahan sekunder dalam jalur kortikostriata.
2.    Efek ekstrapiramidal: Gejala Parkinson, akatisia (kegelisa­an motorik) dan diskinesia tardif (postur Ieher, badan atau ekstremitas yang tidak benar) terjadi pada pengobatan kronis. Gejala-gejala parkinson yang tidak diinginkan ini barangkali disebabkan penghambatan reseptor dopamin dalam jalur grostriata. Insidens ini rendah dengan klozapin dan risperidor.
3.    Efek antiemetik: Kecuali dengan tioridazin, umumnya obat neuroleptika mempunyai efek antiemetik melalui penghambatan reseptordopminergik D2 di daerah picu kemoresep medula Gambar 13. ­menyimpulkan penggunaan antiemetik obat neuroleptika bersama dengan penggunaan obat lain untuk mual.
4.    Efek antimuskarinik: Semua neuroleptika terutama tioridazin dan klorpromazin menyebabkan efek antikolinergik, termasuk penglihatan kabur, mulut kering, sedasi, bingung dan penghambatan gerakan otot polos pencernaan dan kandung kemih sehingga terjadi konstipasi dan retensi urin.
5.    Efek lain: Penghambat reseptor a-adrenergik menyebabkan hipotensi statik dan pusing. Neuroleptika juga mengubah mekanisme pengatur suhu dan dapat menghasilkan poikilothermia (suhu tubuh berubah sesuai lingkungan). Dalam hipofisis neuroleptika menghambat reseptor D2, sehingga pelepasan prolaktin meningkat.

Obat-obat tambahan
Bila penggunaan antipsikotika kurang menghasilkan efek yang diinginkan, ada­kalanya ditambahkan adjuvansia, misalnya suatu benzodiazepin, garam litium , anti­depresiva, atau karbamazepin.
*  Benzodiazepin dengan kerja agak pan­jang, seperti diazepam, dapat untuk semen­tara ditambahkan pada antipsikotika de­ngan efek sedatif ringan guna menanggu­langi rasa takut dan gelisah. Penggunaannya tidak boleh dihentikan dengan mendadak melainkan harus secara berangsur untuk menghindarkan psikose dan konvulsi reak­tif (rebound).
* Litium berguna sebagai tambahan bila terdapat komponen afektif (mania). Efeknya yang baik berupa berkurangnya gejala psikose, kegelisahan, dan perbaikan kontak sosial, dapat tercapai setelah 2-4 minggu. Dosis antipsikotikum biasanya dapat diku­rangi.
*  Antidepresiva trisiklis, misalnya amitriptilin, adakalanya dapat ditam­bahkan pada depresi yang timbul sesudah psikose. Berhubung kombinasi saling mem­perkuat daya kerja dan toksisitas kedua obat, harus diwaspadai meningkatnya efe antikolinergis, seperti ileus paralytis dan delirium.
* Karbamazepin adakalanya berguna sebagai adjuvans bila terdapat kegelisahan dan gangguan kelakuan hebat. Obat epilep­si ini menurunkan kadar darah antipsiko­tika.

Jenis-Jenis Obat trankuilizer mayor
Anatensol
Bristol-Myers squibb K
Flufenazina hidroklorida 2,5 mg : 5 mg
Indikasi           :    Trankuilizer major, gelisah, ketegangan dan gangguan mental lain.
Kontra indikasi : Kerusakan kulit otak bawah komatos, hipersensitivitas.
Perhatian         : Dilaporkan adanya tardive dyskenesias
Dosis                 : Tablet disesuaikan keadaan, injeksi dosis awal : 0,5 ml
                             Intramuscular dengan pemberian 2,5-10 mg/hari setiap 6-8 jam.
Kemasan          : Botol 100 tablet 2,5 mg : 100 tablet 5 mg.

Cepezet
Mersi K
Klorpromazina hidroklorida 100 mg/tablet : 25mg/ml
Indikasi                : Pengobatan umum, neurosis, gangguan system saraf pusat yang memerlukan penenang, pramedikasi anaestesi, hipotensi terkontrol, induksi hypothermia dan antimuntah.
                                 Psikiatri ; Skizofrenia, psikosis akut dan keadaan maniak akut. Gangguan skizoefektif dan sindrom paranoid. Gangguan perilaku karena kelambatan mental (obat tambahan)
Kontra indikasi   : Pasien dengan depresi tulang belakang, gagal ginjal dan lever berat, hipersensitivitas fenotiazina, vertigo dan mabuk perjalanan, bayi<6 bulan, sindrom Reye, koma disebabkan barbiturate, alcohol
Efek samping  : Lesu, mengantuk, pusing, sakit kepala, mulut kering, agitasi, gangguan tidur, fotosensitif dan ruam kulit. Gangguan hati/sakit kuning kronis.
Dosis                    :
Tablet disesuaikan dengan keadaan penderita, sebaiknya dimulai dengan dosis awal, kemudian ditingkatkan secara berangsur-angsur. Dewasa : 10-25 mg tiap 4-6 jam. Psikosis 200-800mg/hari. Anak-anak 0,5 mg/kgBB tiap 4-6jam(bila sangat perlu).
Ampul : skizefrenia dan psikosis lain : dewasa( IM) : Untuk meringankan gejala-gejala akut : 25-50 mg setiap 6-8 jam. Anak 1-5 tahun (IM) : 0,5 mg/kgBB setiap 6-8 jam. Anak 6-12 tahun : 0,5 mg/kgBB setiap  6-8 jam.  Tidak boleh melebihi 75 mg setiap hari. Penderita usia lanjut atau debil : dosis lebih rendah dari dewasa (misalnya 25 mg setiap 8 jam) pada umumnya mencukupi. Untuk mual dan muntah yang berat : Dewasa (IM) awal 25 mg selanjutnya 25-50 mg setiap 3-4 jam sampai muntah berhenti, terapi selanjutnya secara oral. Anak 1-5 tahun (IM) : 0,5 mg/kgBB tiap 6-8 jam. Anak 6-12 tahun : 0,5 mg/kgBB tiap 6-8 jam, maksimal 75 mg sehari.
Kemasan             : Botol 250 tablet salut  selaput : Box, 10 ampul @ 2 ml injeksi.

Clozaril
Sandoz K
Klozapin 25 mg : 100 mg
Indikasi                : Pengobatan penderita resistant skizofrenia, yaitu penderita skizofrenia yang non responsive atau intoleransi terhadap neuroleptik klasik.
Kontra indikasi: Hipersensitivitas, penderita dengan riwayat granulositopenia/agranulositosis, kerusakan fungsi sum-sum tulang belakang karena obat tertentu, epilepsy tak terkontrol, psikosis alkoholik atau zat toksik lainnya, intoksikasi obat, kematosis, depresi SSP, bagal hepatic, renal dan jantung berat.
Efek samping     : Granulosis sitopenia dan agranulositosis dan leukositosis dan atau eosinofilia, fatique, pusing, sedasi, mulut kering, penglihatan memudar, gangguan pengaturan keringat dan temperature, hipersalivasi, takikardia, hipotensi postural dengan atau tanpa sinkop, hipertensi, depresi saluran napas, mual, muntah, konstipasi incontoinens urine dan retensi urin.
Dosis                    :     Bersifat individualistic
Kemasan             :     5x10 tablet  25 mg; 5x10 tablet 100 mg.





DAFTAR PUSTAKA

Mutschler Ernst. 1991. Dinamika Obat. Bagian Farmakologi dan Toksikologi. Penerbit ITB. Bandung.

Mycek, Mary J. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2. Widya Medika. Jakarta.

Tjay Tan Hoan. 2002. Obat-Obat Penting. PT. Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia. Jakarta.

Ganiswara Sulistia G. 1995. Farmakologi dan Toksikologi. Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.

Katzung G. Bertram. 2002. Farmakologi dasar dan Klinik Edisi 2. Penerbit Saalemba Medika. Jakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar